Menakar Efek Tren Kendaraan Listrik dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Pemanfaatan Mineral
Senin, 21 Oktober 2024 - 18:35 WIB
JAKARTA - Indonesia telah memulai transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik (EV) sejak 2017 hingga saat ini. Langkah ini diambil untuk mengatasi perubahan iklim dan polusi udara yang semakin mendesak di kota-kota besar.
Pemerintah merumuskan peta jalan untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang mencakup berbagai insentif, seperti pengurangan pajak dan subsidi untuk infrastruktur pengisian baterai, guna mempercepat adopsi kendaraan listrik. Tujuannya jelas: mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai net zero emissions (NZE) pada tahun 2060.
Namun, apakah langkah ini efektif dalam mencapai NZE, dan bagaimana dampaknya pada pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya mineral, terutama nikel, Indonesia memiliki peluang besar untuk mendukung pengembangan industri EV. Cadangan nikel yang diperkirakan lebih dari 21 juta ton menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil utama nikel di dunia.
Selain nikel, Indonesia memiliki cadangan mineral penting lain seperti kobalt dan tembaga, dua mineral lain yang juga diperlukan dalam produksi baterai. Dengan sumber daya ini, pemerintah berupaya mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik, yang diharapkan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Ketersediaan mineral kritis di Indonesia memberikan keuntungan strategis bagi pengembangan industri EV lokal,” kata Ketua Dewan Pembina Organisasi Diaspora Anak Muda Amankan Nusantara (AMAN), Feiral Rizky Batubara.
Namun, ada ironi di balik transisi ini. Meskipun kendaraan listrik digadang-gadang sebagai solusi ramah lingkungan, sumber energi untuk pengisian baterai di Indonesia sebagian besar masih berasal dari pembangkit listrik berbasis batu bara. Indonesia, sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, masih mengandalkan batu bara untuk mendukung kebutuhan energi domestik.
“Pengembangan EV di Indonesia masih bergantung pada batu bara, namun kita perlu melihat kondisi ini sebagai jembatan menuju kemandirian energi sebelum energi terbarukan dapat memiliki peran yang lebih dominan dalam komposisi bauran energi Indonesia,” ujar Feiral.
Pemerintah merumuskan peta jalan untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang mencakup berbagai insentif, seperti pengurangan pajak dan subsidi untuk infrastruktur pengisian baterai, guna mempercepat adopsi kendaraan listrik. Tujuannya jelas: mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai net zero emissions (NZE) pada tahun 2060.
Namun, apakah langkah ini efektif dalam mencapai NZE, dan bagaimana dampaknya pada pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Baca Juga
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya mineral, terutama nikel, Indonesia memiliki peluang besar untuk mendukung pengembangan industri EV. Cadangan nikel yang diperkirakan lebih dari 21 juta ton menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil utama nikel di dunia.
Selain nikel, Indonesia memiliki cadangan mineral penting lain seperti kobalt dan tembaga, dua mineral lain yang juga diperlukan dalam produksi baterai. Dengan sumber daya ini, pemerintah berupaya mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik, yang diharapkan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Ketersediaan mineral kritis di Indonesia memberikan keuntungan strategis bagi pengembangan industri EV lokal,” kata Ketua Dewan Pembina Organisasi Diaspora Anak Muda Amankan Nusantara (AMAN), Feiral Rizky Batubara.
Namun, ada ironi di balik transisi ini. Meskipun kendaraan listrik digadang-gadang sebagai solusi ramah lingkungan, sumber energi untuk pengisian baterai di Indonesia sebagian besar masih berasal dari pembangkit listrik berbasis batu bara. Indonesia, sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, masih mengandalkan batu bara untuk mendukung kebutuhan energi domestik.
“Pengembangan EV di Indonesia masih bergantung pada batu bara, namun kita perlu melihat kondisi ini sebagai jembatan menuju kemandirian energi sebelum energi terbarukan dapat memiliki peran yang lebih dominan dalam komposisi bauran energi Indonesia,” ujar Feiral.
tulis komentar anda