Jadi Ancaman, Aturan EUDR Berpotensi Diikuti Negara lain
Jum'at, 08 November 2024 - 08:33 WIB
NUSA DUA - Aturan European Union on Deforestation Regulation (EUDR) yang diadopsi Uni Eropa ( UE ) dinilai sebagai ancaman. Terlebih, sistem yang tidak hanya mendiskriminasi industri kelapa sawit secara umum tersebut juga berpotensi diberlakukan oleh negara lain.
Padahal, Parlemen EU sendiri belum bisa menjelaskan implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan di dalam aturan tersebut. Bahkan di suatu negara saja, penerapann sistem benchmarking yang sama sulit untuk dilakukan.
Hal itu menjadi kesimpulan dari sesi kedua Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024, Kamis (7/11) di Nusa Dua, Bali, yang menampilkan pembicara Duta Besar Indonesia untuk UE Andri Hadi; Profesor dan pengamat minyak nabati dari Universitas John Cabot Roma, Italia, Pietro Paganini; Sekjen Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman; Director Sustainable Supply and Production Golden Agri-Resources Ian Suwarganda.
Dubes RI untuk UE Andri Hadi mengatakan, akibat benchmarking ini, jika suatu negara dikategorikan sebagai berisiko tinggi dalam hal deforestasi, maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara mitra dagangnya di luar UE akan ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut.
"Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan 'one size fit all'. Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda," ujarnya di acara IPOC 2024, Kamis (7/11/2024).
Padahal, benchmarking tersebut praktiknya sulit dilakukan di wilayah-wilayah yang berbeda. "Di Indonesia misalnya, tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan, misalnya pada kebun kopi di Sumatera dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur," cetusnya.
Terkait dengan itu, Profesor Pietro Paganini menilai negara-negara produsen sawit harus terus mengintensifkan perundingan dengan UE dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik untuk mematuhi aturan EUDR. Terlebih, aturan itu diperkirakan tidak hanya akan diterapkan di Eropa saja, tapi juga di luar Benua Biru tersebut.
Padahal, Parlemen EU sendiri belum bisa menjelaskan implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan di dalam aturan tersebut. Bahkan di suatu negara saja, penerapann sistem benchmarking yang sama sulit untuk dilakukan.
Hal itu menjadi kesimpulan dari sesi kedua Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024, Kamis (7/11) di Nusa Dua, Bali, yang menampilkan pembicara Duta Besar Indonesia untuk UE Andri Hadi; Profesor dan pengamat minyak nabati dari Universitas John Cabot Roma, Italia, Pietro Paganini; Sekjen Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman; Director Sustainable Supply and Production Golden Agri-Resources Ian Suwarganda.
Dubes RI untuk UE Andri Hadi mengatakan, akibat benchmarking ini, jika suatu negara dikategorikan sebagai berisiko tinggi dalam hal deforestasi, maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara mitra dagangnya di luar UE akan ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut.
"Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan 'one size fit all'. Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda," ujarnya di acara IPOC 2024, Kamis (7/11/2024).
Padahal, benchmarking tersebut praktiknya sulit dilakukan di wilayah-wilayah yang berbeda. "Di Indonesia misalnya, tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan, misalnya pada kebun kopi di Sumatera dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur," cetusnya.
Terkait dengan itu, Profesor Pietro Paganini menilai negara-negara produsen sawit harus terus mengintensifkan perundingan dengan UE dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik untuk mematuhi aturan EUDR. Terlebih, aturan itu diperkirakan tidak hanya akan diterapkan di Eropa saja, tapi juga di luar Benua Biru tersebut.
tulis komentar anda