Jadi Ancaman, Aturan EUDR Berpotensi Diikuti Negara lain
loading...
A
A
A
NUSA DUA - Aturan European Union on Deforestation Regulation (EUDR) yang diadopsi Uni Eropa ( UE ) dinilai sebagai ancaman. Terlebih, sistem yang tidak hanya mendiskriminasi industri kelapa sawit secara umum tersebut juga berpotensi diberlakukan oleh negara lain.
Padahal, Parlemen EU sendiri belum bisa menjelaskan implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan di dalam aturan tersebut. Bahkan di suatu negara saja, penerapann sistem benchmarking yang sama sulit untuk dilakukan.
Hal itu menjadi kesimpulan dari sesi kedua Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024, Kamis (7/11) di Nusa Dua, Bali, yang menampilkan pembicara Duta Besar Indonesia untuk UE Andri Hadi; Profesor dan pengamat minyak nabati dari Universitas John Cabot Roma, Italia, Pietro Paganini; Sekjen Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman; Director Sustainable Supply and Production Golden Agri-Resources Ian Suwarganda.
Dubes RI untuk UE Andri Hadi mengatakan, akibat benchmarking ini, jika suatu negara dikategorikan sebagai berisiko tinggi dalam hal deforestasi, maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara mitra dagangnya di luar UE akan ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut.
"Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan 'one size fit all'. Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda," ujarnya di acara IPOC 2024, Kamis (7/11/2024).
Padahal, benchmarking tersebut praktiknya sulit dilakukan di wilayah-wilayah yang berbeda. "Di Indonesia misalnya, tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan, misalnya pada kebun kopi di Sumatera dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur," cetusnya.
Terkait dengan itu, Profesor Pietro Paganini menilai negara-negara produsen sawit harus terus mengintensifkan perundingan dengan UE dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik untuk mematuhi aturan EUDR. Terlebih, aturan itu diperkirakan tidak hanya akan diterapkan di Eropa saja, tapi juga di luar Benua Biru tersebut.
Senada, penasehat bidang sawit untuk Golden Agri-resources (GAR) Ian Suwarganda mengingatkan bahwa saat ini negara-negara lain juga tengah mempersiapkan aturan yang sama. "Saya kira negara-negara seperti Amerika Serikat, China dan India pun sedang berusaha merumuskan peraturan yang mirip dengan EUDR itu," katanya.
Sekjen CPOPC Rizal Affandi menambahkan, pelaksanaan EUDR pasti akan pasti berdampak pada negara-negara Asia Tenggara, kecuali Brunei Darussalam. Setidaknya ada 7 komoditas yang terdampak oleh EUDR, antara lain kelapa sawit, kopi dan karet. "Indonesia adalah produsen terbesar sawit di dunia, Vietnam produsen besar kopi, sementara Thailand karet," tuturnya.
Dia menambahkan, pemberlakuan EUDR ini tidak hanya akan berdampak pada ekspor Indonesia ke Eropa, tapi juga impor Indonesia dari Eropa. "Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor," jelasnya.
Rizal memperkirakan, dengan pemberlakuan EUDR, nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang terpengaruh akan mencapai USD4,4 miliar atau sekitar Rp68,64 triliun (kurs Rp15.600 per USD) dalam berbagai produk pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Padahal, Parlemen EU sendiri belum bisa menjelaskan implementasi benchmarking sebagaimana disyaratkan di dalam aturan tersebut. Bahkan di suatu negara saja, penerapann sistem benchmarking yang sama sulit untuk dilakukan.
Hal itu menjadi kesimpulan dari sesi kedua Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024, Kamis (7/11) di Nusa Dua, Bali, yang menampilkan pembicara Duta Besar Indonesia untuk UE Andri Hadi; Profesor dan pengamat minyak nabati dari Universitas John Cabot Roma, Italia, Pietro Paganini; Sekjen Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Rizal Affandi Lukman; Director Sustainable Supply and Production Golden Agri-Resources Ian Suwarganda.
Dubes RI untuk UE Andri Hadi mengatakan, akibat benchmarking ini, jika suatu negara dikategorikan sebagai berisiko tinggi dalam hal deforestasi, maka konsekuensinya adalah kemungkinan negara-negara mitra dagangnya di luar UE akan ikut mengambil tindakan yang merugikan negara tersebut.
"Ya memang EUDR itu dari awal memaksakan 'one size fit all'. Sebenarnya dari awal kita sudah minta perundingan untuk menyamakan persepsi tentang aturan deforestasi ini. Tapi UE tetap memaksakan pemberlakuannya dan sekarang ini kita lihat sedang ditunda," ujarnya di acara IPOC 2024, Kamis (7/11/2024).
Padahal, benchmarking tersebut praktiknya sulit dilakukan di wilayah-wilayah yang berbeda. "Di Indonesia misalnya, tidak bisa benchmarking yang sama dilakukan, misalnya pada kebun kopi di Sumatera dan kebun kopi di Nusa Tenggara Timur," cetusnya.
Terkait dengan itu, Profesor Pietro Paganini menilai negara-negara produsen sawit harus terus mengintensifkan perundingan dengan UE dalam semangat kerja sama untuk menemukan cara terbaik untuk mematuhi aturan EUDR. Terlebih, aturan itu diperkirakan tidak hanya akan diterapkan di Eropa saja, tapi juga di luar Benua Biru tersebut.
Senada, penasehat bidang sawit untuk Golden Agri-resources (GAR) Ian Suwarganda mengingatkan bahwa saat ini negara-negara lain juga tengah mempersiapkan aturan yang sama. "Saya kira negara-negara seperti Amerika Serikat, China dan India pun sedang berusaha merumuskan peraturan yang mirip dengan EUDR itu," katanya.
Sekjen CPOPC Rizal Affandi menambahkan, pelaksanaan EUDR pasti akan pasti berdampak pada negara-negara Asia Tenggara, kecuali Brunei Darussalam. Setidaknya ada 7 komoditas yang terdampak oleh EUDR, antara lain kelapa sawit, kopi dan karet. "Indonesia adalah produsen terbesar sawit di dunia, Vietnam produsen besar kopi, sementara Thailand karet," tuturnya.
Dia menambahkan, pemberlakuan EUDR ini tidak hanya akan berdampak pada ekspor Indonesia ke Eropa, tapi juga impor Indonesia dari Eropa. "Ini karena EUDR itu mensyaratkan bebas deforestasi bagi semua barang komoditi pertanian, perkebunan dan kehutanan di Eropa, baik barang impor dan ekspor," jelasnya.
Rizal memperkirakan, dengan pemberlakuan EUDR, nilai ekspor Indonesia ke Eropa yang terpengaruh akan mencapai USD4,4 miliar atau sekitar Rp68,64 triliun (kurs Rp15.600 per USD) dalam berbagai produk pertanian, perkebunan dan kehutanan.
(fjo)