Mengatasi Polusi Plastik lewat Aturan Global dan Kerja Sama Multi Pihak
Sabtu, 23 November 2024 - 11:58 WIB
Menurut data TKNPSL, pengurangan kebocoran sampah plastik ke laut baru mencapai 41,68% di akhir tahun 2023 yakni dari 651.675 ton (2018) menjadi 359.061 ton (2023).
Melihat urgensi tersebut, di tengah perhelatan menuju INC-5, BCGPT kembali mengingatkan bahwa perjanjian yang mengikat secara hukum dan mencakup siklus hidup produk plastik merupakan peluang terbaik untuk mengatasi krisis polusi plastik. INC-5 adalah momentum penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama menyepakati dan secara konsekuen menjalankan isi perjanjian.
Director of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Nurdiana Darus menyampaikan, bahwa Perjanjian Plastik Global yang bersifat mengikat secara internasional merupakan jawaban atas masalah polusi plastik dunia selama ini. "Kita harus melangkah lebih dari sekedar upaya sukarela karena selama ini upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan masalah," ujarnya.
“Perjanjian tersebut penting untuk mengatur sejumlah restriksi, tercapainya tingkat produksi plastik yang berkelanjutan, serta perluasan tanggung jawab produsen atau Extended Producer Responsibility (EPR)," tambah Nurdiana.
Sementara itu Direktur Public Affairs, Communication and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia), Lucia Karina menekankan pentingnya upaya komprehensif dari hulu ke hilir dan sinergi multipihak dalam rangka menuntaskan permasalahan sampah di Indonesia.
"Agar upaya mengatasi masalah plastik efektif, dibutuhkan pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk pelaku usaha, pemerintah, akademisi, pemuka agama, pemuka masyarakat, media, dan masyarakat, atau dikenal dengan konsep kolaborasi Nona Helix," ungkap Karina.
"Khususnya di negara berkembang, kerangka kerjasama perlu inklusif dan adaptif terhadap konteks dan budaya lokal, dengan pelibatan aktif sektor informal. Pendekatan semacam ini telah menunjukkan hasil positif dalam memperluas pengumpulan sampah dan meningkatkan taraf hidup. Ini menjadi bukti nyata urgensi kolaborasi multipihak yang disesuaikan dengan situasi setempat, demi transisi yang adil menuju ekonomi sirkular," ujar Karina.
Sebagai instrumen internasional yang mengikat (ILBI), Perjanjian Plastik Global diharapkan menjadi payung perlindungan bagi tumbuhnya ekonomi hijau di berbagai tempat. ILBI dirancang untuk memastikan tercapainya transisi yang inklusif dan berkeadilan agar dapat memitigasi risiko-risiko yang terjadi selama proses transisi tersebut khususnya dampak terhadap UMKM dan pekerja sektor informal pengelolaan sampah.
Pemerintah Republik Indonesia hingga bulan Oktober 2024 telah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak untuk naskah Perjanjian Plastik Global. Naskah tersebut diharapkan menjadi bahan diplomasi para anggota delegasi Indonesia di forum INC-5 yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Sampah Laut (TKNPSL) serta pihak terkait lainnya.
Melihat urgensi tersebut, di tengah perhelatan menuju INC-5, BCGPT kembali mengingatkan bahwa perjanjian yang mengikat secara hukum dan mencakup siklus hidup produk plastik merupakan peluang terbaik untuk mengatasi krisis polusi plastik. INC-5 adalah momentum penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama menyepakati dan secara konsekuen menjalankan isi perjanjian.
Director of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Nurdiana Darus menyampaikan, bahwa Perjanjian Plastik Global yang bersifat mengikat secara internasional merupakan jawaban atas masalah polusi plastik dunia selama ini. "Kita harus melangkah lebih dari sekedar upaya sukarela karena selama ini upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan masalah," ujarnya.
“Perjanjian tersebut penting untuk mengatur sejumlah restriksi, tercapainya tingkat produksi plastik yang berkelanjutan, serta perluasan tanggung jawab produsen atau Extended Producer Responsibility (EPR)," tambah Nurdiana.
Sementara itu Direktur Public Affairs, Communication and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia), Lucia Karina menekankan pentingnya upaya komprehensif dari hulu ke hilir dan sinergi multipihak dalam rangka menuntaskan permasalahan sampah di Indonesia.
"Agar upaya mengatasi masalah plastik efektif, dibutuhkan pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk pelaku usaha, pemerintah, akademisi, pemuka agama, pemuka masyarakat, media, dan masyarakat, atau dikenal dengan konsep kolaborasi Nona Helix," ungkap Karina.
"Khususnya di negara berkembang, kerangka kerjasama perlu inklusif dan adaptif terhadap konteks dan budaya lokal, dengan pelibatan aktif sektor informal. Pendekatan semacam ini telah menunjukkan hasil positif dalam memperluas pengumpulan sampah dan meningkatkan taraf hidup. Ini menjadi bukti nyata urgensi kolaborasi multipihak yang disesuaikan dengan situasi setempat, demi transisi yang adil menuju ekonomi sirkular," ujar Karina.
Sebagai instrumen internasional yang mengikat (ILBI), Perjanjian Plastik Global diharapkan menjadi payung perlindungan bagi tumbuhnya ekonomi hijau di berbagai tempat. ILBI dirancang untuk memastikan tercapainya transisi yang inklusif dan berkeadilan agar dapat memitigasi risiko-risiko yang terjadi selama proses transisi tersebut khususnya dampak terhadap UMKM dan pekerja sektor informal pengelolaan sampah.
Pemerintah Republik Indonesia hingga bulan Oktober 2024 telah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak untuk naskah Perjanjian Plastik Global. Naskah tersebut diharapkan menjadi bahan diplomasi para anggota delegasi Indonesia di forum INC-5 yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Sampah Laut (TKNPSL) serta pihak terkait lainnya.
tulis komentar anda