Industri Petrokimia Perlu Diselamatkan dari Ancaman Produk Impor
Rabu, 27 November 2024 - 20:12 WIB
JAKARTA - Bank Dunia dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% pada 2024 dan 5,1% di tahun selanjutnya. Sejumlah proyeksi pertumbuhan ekonomi ini menggambarkan Indonesia masih lebih baik dibandingkan tingkat pertumbuhan kawasan Asia Pasifik. Pertumbuhan kawasan secara umum diperkirakan berkisar 4,8% pada 2024 dan melambat ke 4,4% pada 2025.
Sementara, di bawah Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, yang target ambisius ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan investasi, serta mendorong sektor-sektor strategis nasional. Namun, jika tidak didukung dengan regulasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, upaya optimistis Presiden Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 8% mustahil direalisasikan.
Jika dilihat kebelakang, proyeksi seputar kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya baik-baik saja. Contohnya sektor manufaktur yang padat karya sedang menghadapi tekanan berat yang berimbas pada peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sepanjang semester I-2024 saja, tercatat 32.064 pekerja dirumahkan, naik 21,45% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sektor manufaktur yang paling parah mengalami PHK masal yakni industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Dalam dua tahun terakhir sudah sebanyak 30 pabrik tekstil yang tutup. Penutupan pabrik tersebut menyebabkan lebih dari 11.000207 orang orang pekerja kehilangan pekerjaannya. Pelemahan ini dipastikan meluas ke sektor lainnya seperti Petrokimia yang berimbas pada penurunan permintaan bahan baku aromatik untuk industri tekstil.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas)Fajar Budiyono mengatakan, melemahnya industri tekstil akan berdampak pada kinerja industri petrokimia.
"Hal ini lantaran, industri petrokimia memiliki peran penting dalam mendukung berbagai sektor, mulai dari plastik, tekstil, karet sintetis, kosmetik, bahan pembersih hingga farmasi. Apalagi, turunan aromatik saat ini lebih banyak diserap industri tekstil," ujar dia dalam acara diskusi bertajuk "Dukungan Pemerintah Baru Genjot Manufaktur Petrokimia", ditulis Rabu (27/11/2024).
Saat ini, diperkirakan industri petrokimia menghadapi penurunan tingkat utilisasi pabrik hingga 50 persen. Potensi investasi senilai Rp437 triliun di sektor petrokimia juga terancam mandek akibat kekacauan pasar domestik, menambah tantangan bagi pemulihan ekonomi nasional.
Selain penetrasi barang impor, industri hulu petrokimia pun masih gamang merealisasikan investasi lantaran ketidakpastian kebijakan. Terdapat kebijakan yang diharapkan mampu menopang kinerja, antara lain insentif harga gas bumi hingga kepastian insentif fiskal berupa tax holiday yang belakangan belum disahkan secara resmi.
Sementara, di bawah Presiden Prabowo Subianto, Pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, yang target ambisius ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan investasi, serta mendorong sektor-sektor strategis nasional. Namun, jika tidak didukung dengan regulasi dan tata kelola pemerintahan yang baik, upaya optimistis Presiden Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 8% mustahil direalisasikan.
Jika dilihat kebelakang, proyeksi seputar kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya baik-baik saja. Contohnya sektor manufaktur yang padat karya sedang menghadapi tekanan berat yang berimbas pada peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sepanjang semester I-2024 saja, tercatat 32.064 pekerja dirumahkan, naik 21,45% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sektor manufaktur yang paling parah mengalami PHK masal yakni industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Dalam dua tahun terakhir sudah sebanyak 30 pabrik tekstil yang tutup. Penutupan pabrik tersebut menyebabkan lebih dari 11.000207 orang orang pekerja kehilangan pekerjaannya. Pelemahan ini dipastikan meluas ke sektor lainnya seperti Petrokimia yang berimbas pada penurunan permintaan bahan baku aromatik untuk industri tekstil.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas)Fajar Budiyono mengatakan, melemahnya industri tekstil akan berdampak pada kinerja industri petrokimia.
"Hal ini lantaran, industri petrokimia memiliki peran penting dalam mendukung berbagai sektor, mulai dari plastik, tekstil, karet sintetis, kosmetik, bahan pembersih hingga farmasi. Apalagi, turunan aromatik saat ini lebih banyak diserap industri tekstil," ujar dia dalam acara diskusi bertajuk "Dukungan Pemerintah Baru Genjot Manufaktur Petrokimia", ditulis Rabu (27/11/2024).
Saat ini, diperkirakan industri petrokimia menghadapi penurunan tingkat utilisasi pabrik hingga 50 persen. Potensi investasi senilai Rp437 triliun di sektor petrokimia juga terancam mandek akibat kekacauan pasar domestik, menambah tantangan bagi pemulihan ekonomi nasional.
Selain penetrasi barang impor, industri hulu petrokimia pun masih gamang merealisasikan investasi lantaran ketidakpastian kebijakan. Terdapat kebijakan yang diharapkan mampu menopang kinerja, antara lain insentif harga gas bumi hingga kepastian insentif fiskal berupa tax holiday yang belakangan belum disahkan secara resmi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda