SP PLN Sambut Baik Putusan MK soal UU Cipta Kerja
Jum'at, 29 November 2024 - 17:28 WIB
JAKARTA - Serikat Pekerja (SP) PLN menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan Judicial Review Undang-Undang Cipta Kerja No. 6 Tahun 2024 berkaitan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) pada sub-Kluster Ketenagalistrikan.
"Meskipun sebagian permohonan SP PLN bersama Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) tidak dapat diterima, kami tetap menyambut baik putusan ini," kata Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Abrar juga menyampaikan terima kasih kepada MK yang konsisten menyatakan praktek unbundling (pemisahan) pengelolaan ketenagalistrikan inkonstitusional. Terkait pengesahan RUKN yang semula di UU Cipta Kerja ditetapkan tanpa persetujuan DPR, SP PLN juga meminta MK untuk menyatakan agar pengesahannya harus melalui pertimbangan DPR. "Kami juga mendukung sepenuhnya pernyataan Presiden untuk kembali menjalankan Pasal 33 UUD Tahun 1945 karena merupakan semangat nasionalis dan patriotik khususnya dalam pengelolaan energi listrik sebagai aset strategis bangsa," tegasnya.
Selain itu, Abrar juga meminta agar SP PLN dan Gekanas dilibatkan dalam setiap pembahasan RUU, khususnya dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan dan RUU Ketenagalistrikan.
"Kami juga minta kepada pemerintah untuk dilibatkan dalam membahas RUU Ketenagakerjaa, RUU Ketenagalistrikan maupun RUU yang terkait dengan pengelolaan energi," tandasnya.
Sebelumnya, MK dalam sidang putusan Nomor 39/PUU-XXI/2023 yang digelar hari ini mengabulkan permohonan Pengujian Materiil UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, sub-Kluster Ketenagalistrikan. Dalam putusannya, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 7 Ayat 1 dalam Pasal 42 angka 5 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal ini bertentangan dan tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai "Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat pertimbangan DPR".
MK juga menyatakan kata "dapat" pada norma Pasal 10 ayat 2 UU Cipta Kerja Pasal 42 angka 5 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Adapun permohonan ini diajukan oleh berbagai serikat pekerja yang bekerja di bidang energi yang merasa pasal tersebut merugikan konstitusionalitas mereka karena perbedaan perlakuan tarif antardaerah dan potensi diberlakukannya tarif listrik yang disamakan dengan konsep bisnis.
Hal ini dinilai membuat usaha penyediaan listrik tak lagi di bawah penguasaan negara sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan listrik sebagai kebutuhan dasar. Karena itu, mereka meminta agar pasal yang mengancam penguasaan negara atas penyediaan listrik ini dibatalkan MK.
"Meskipun sebagian permohonan SP PLN bersama Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) tidak dapat diterima, kami tetap menyambut baik putusan ini," kata Ketua Umum SP PLN M Abrar Ali di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Abrar juga menyampaikan terima kasih kepada MK yang konsisten menyatakan praktek unbundling (pemisahan) pengelolaan ketenagalistrikan inkonstitusional. Terkait pengesahan RUKN yang semula di UU Cipta Kerja ditetapkan tanpa persetujuan DPR, SP PLN juga meminta MK untuk menyatakan agar pengesahannya harus melalui pertimbangan DPR. "Kami juga mendukung sepenuhnya pernyataan Presiden untuk kembali menjalankan Pasal 33 UUD Tahun 1945 karena merupakan semangat nasionalis dan patriotik khususnya dalam pengelolaan energi listrik sebagai aset strategis bangsa," tegasnya.
Selain itu, Abrar juga meminta agar SP PLN dan Gekanas dilibatkan dalam setiap pembahasan RUU, khususnya dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan dan RUU Ketenagalistrikan.
"Kami juga minta kepada pemerintah untuk dilibatkan dalam membahas RUU Ketenagakerjaa, RUU Ketenagalistrikan maupun RUU yang terkait dengan pengelolaan energi," tandasnya.
Sebelumnya, MK dalam sidang putusan Nomor 39/PUU-XXI/2023 yang digelar hari ini mengabulkan permohonan Pengujian Materiil UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, sub-Kluster Ketenagalistrikan. Dalam putusannya, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 7 Ayat 1 dalam Pasal 42 angka 5 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal ini bertentangan dan tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai "Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapat pertimbangan DPR".
MK juga menyatakan kata "dapat" pada norma Pasal 10 ayat 2 UU Cipta Kerja Pasal 42 angka 5 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Adapun permohonan ini diajukan oleh berbagai serikat pekerja yang bekerja di bidang energi yang merasa pasal tersebut merugikan konstitusionalitas mereka karena perbedaan perlakuan tarif antardaerah dan potensi diberlakukannya tarif listrik yang disamakan dengan konsep bisnis.
Hal ini dinilai membuat usaha penyediaan listrik tak lagi di bawah penguasaan negara sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan listrik sebagai kebutuhan dasar. Karena itu, mereka meminta agar pasal yang mengancam penguasaan negara atas penyediaan listrik ini dibatalkan MK.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda