BI Disarankan Lebih Agresif Sokong Dunia Usaha

Senin, 04 Mei 2020 - 14:53 WIB
Dia menegaskan, di banyak negara yang mengalami penurunan ekonomi tajam, bank sentral negara juga aktif mengajukan langkah-langkah penanganan potensi bahaya ekonomi yang lebih dalam. Bank Sentral secara aktif mengeluarkan kebijakan moneter yang terukur yang diharapkan dapat membantu kembalinya suasa ekonomi negara.

"Bukan hanya Amerika yang bank sentralnya aktif dalam penanganan ekonomi akibat pandemi. Inggris, Jerman, Prancsil dan lainnya pun demikian. Alternatif kebijakan memberi sokongan pinjaman berbunga rendah dan pembebasan pembayaran bunga dan pokok pinjaman oleh pengatur sistem moneter ini lebih menjanjikan sesuai dengan karakter usaha di Indonesia," tegasnya.

Politisi NasDem ini berharap, Bank Indonesia dapat segera menerapkan kebijakan moneter yang tepat sasaran dan memiliki dampak bagi kelangsungan usaha. "Kita butuh ekonomi kita segera bergerak begitu angka pandemi ini melandai. Sebisa mungkin BI harus cepat mengeluarkan kebijakan moneter yang dimaksud," tuturnya.

World economic outlook, yang dikeluarkan IMF April 2020, merevisi proyeksi pertumbuhan PDB Indonesia hanya menjadi 0,5% ditahun 2020 dari sebelumnya 5,1%. Demikian juga angka pengangguran yang dikoreksi dari 5% menjadi 7,5%. Kondisi yang demikian bukan hanya terjadi di Emerging Country seperti Indonesia. Melainkan juga terjadi pada negara-negara Established Country, BRICS, dan G7.

Menurut legislator Sulawesi Tengah ini, proyeksi ekonomi yang mengalami penurunan harus disikapi dengan strategi yang matang dan terukur oleh setiap negara. Indonesia tidak boleh tertinggal untuk mengerapkan strategi baik yang harus diimplementasikan didalam negeri maupun dengan kerjasama luar negeri.

"Perhitungan proyeksi para ekonom dalam skema optimis maupun pesimis menunjukan penurunan PDB di semua negara terdampak covid baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena kesalinghubungan ekonomi dunia. Karena itu negara-negara mulai berkonsentrasi menjalankan sistem pertahanan ekonomi masing-masing tanpa mengesampingkan perubahan faktor global," ujarnya.

Menurutnya, dalam kondisi ekonomi yang tertekan oleh pandemi saat ini maka perlu ada langkah-langkah luar biasa yang dilakukan oleh pemerintah. Amerika Serikat misalnya mengeluarkan Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act (CARES Act) yang berlaku mulai 1 Maret hingga 31 Desember 2020.

Dana mencapai USD869 Miliar disiapkan dalam bentuk pinjaman, dana penjaminan dan dana cadangan Bank Sentral. Dana tersebut juga dimaksudkan agar dunia usaha tetap menjaga pekerjanya. Selain itu ada juga insentif pajak USD250 miliar dan Insentif pengangguran. "Undang-undang ini memperlihatkan konsentrasi membangun pertahanan dan pertumbuhan ekonominya. Lebih dari 11% PDB disiapkan untuk menyelamatkan ekonominya," jelasnya.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Indonesia mengalokasikan Rp405,1 Triliun atau 2,5% Total PDB dalam kerangka penanganan dampak Covid 19. Dari total nilai tersebut Rp70 Triliun digunakan untuk relaksasi pajak dan Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Program pemulihan ekonomi yang dimaksud juga termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha.

"Dari kebijakan penyelamatan sektor ekonomi yang baru terdengar adalah soal 9.610 perusahaan diberikan keringanan pajak penghasilan. Perusahaan diberikan tarif 0 persen bea impor barang. Keriuhan relaksasi pembayaran cicilan kredit konsumsi. Selain itu apa. Makanya kita butuh kebijakan moneter dari Bank Indonesia yang lebih agresif," pungkasnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More