Superholding Pengganti Kementerian BUMN Sulit Diterapkan, Ini Kata Said Didu
Kamis, 24 September 2020 - 12:01 WIB
JAKARTA - Isu ihwal pembentukan superholding untuk menggantikan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali mencuri perhatian banyak pihak.
Meski pada 2009 isu ini menjadi bola panas saat Sofyan Djalil menjabat sebagai Menteri BUMN, namun superholding kembali diwacanakan ketika Erick Thohir mengambil pilihan dengan membentuk subholding.
Posisi Kementerian BUMN sendiri memang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 yang disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Juni 2003 menggantikan UU Nomor 12 Tahun 1955. (Baca juga: Erick Thohir Ngebet Revisi Undang-undang BUMN, Ada Masalah? )
Dalam belied UU Nomor 19 Tahun 2003 perihal BUMN pada pokoknya mengatur tentang, persero, perum, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN, kewajiban pelayanan umum, satuan pengawasan Intern, komite audit, dan komite Lain. Serta pemeriksaan eksternal, restrukturisasi dan privatisasi.
Dengan beleid tersebut, maka posisi dan eksistensi Kementerian BUMN menjadi kuat secara hukum dan politik. Bahkan, Mantan Sekretaris BUMN Said Didu (periode 2005-2010) menyebut, pembubaran Kementerian BUMN untuk digantikan dengan superholding sulit dilakukan.
Said beralasan posisi Kementerian BUMN tidak hanya diperkuat oleh UU Nomor 19 Tahun 2003 tapi juga oleh UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003.
"Nah, kenapa Kementerian BUMN masih tetap ada dan superholding tidak bisa terwujud? Penyebab utamanya adalah karena masih ada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003," ujar Said dalam sesi wawancara bersama IDX Channel, Jakarta, Kamis (24/9/2020).
Dalam UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 menjelaskan bahwa pemegang saham sejumlah perseroan negara adalah Menteri Keuangan. Sementara Menteri BUMN hanyalah kuasa pemegang saham.
Karena itu, Said mengatakan, bila sistem pengelolaan BUMN harus menggunakan pola atau model superholding, maka kedua UU tersebut harus direvisi. "Sekarang kalau mau dijadikan superholding maka kedua UU itu harus direvisi, harus diubah," kata dia. (Baca juga: Ekonomi Indonesia Baru Akan Pulih di 2021, Itu pun Ada Syaratnya )
Meski pada 2009 isu ini menjadi bola panas saat Sofyan Djalil menjabat sebagai Menteri BUMN, namun superholding kembali diwacanakan ketika Erick Thohir mengambil pilihan dengan membentuk subholding.
Posisi Kementerian BUMN sendiri memang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 yang disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Juni 2003 menggantikan UU Nomor 12 Tahun 1955. (Baca juga: Erick Thohir Ngebet Revisi Undang-undang BUMN, Ada Masalah? )
Dalam belied UU Nomor 19 Tahun 2003 perihal BUMN pada pokoknya mengatur tentang, persero, perum, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN, kewajiban pelayanan umum, satuan pengawasan Intern, komite audit, dan komite Lain. Serta pemeriksaan eksternal, restrukturisasi dan privatisasi.
Dengan beleid tersebut, maka posisi dan eksistensi Kementerian BUMN menjadi kuat secara hukum dan politik. Bahkan, Mantan Sekretaris BUMN Said Didu (periode 2005-2010) menyebut, pembubaran Kementerian BUMN untuk digantikan dengan superholding sulit dilakukan.
Said beralasan posisi Kementerian BUMN tidak hanya diperkuat oleh UU Nomor 19 Tahun 2003 tapi juga oleh UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003.
"Nah, kenapa Kementerian BUMN masih tetap ada dan superholding tidak bisa terwujud? Penyebab utamanya adalah karena masih ada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003," ujar Said dalam sesi wawancara bersama IDX Channel, Jakarta, Kamis (24/9/2020).
Dalam UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 menjelaskan bahwa pemegang saham sejumlah perseroan negara adalah Menteri Keuangan. Sementara Menteri BUMN hanyalah kuasa pemegang saham.
Karena itu, Said mengatakan, bila sistem pengelolaan BUMN harus menggunakan pola atau model superholding, maka kedua UU tersebut harus direvisi. "Sekarang kalau mau dijadikan superholding maka kedua UU itu harus direvisi, harus diubah," kata dia. (Baca juga: Ekonomi Indonesia Baru Akan Pulih di 2021, Itu pun Ada Syaratnya )
Lihat Juga :
tulis komentar anda