Target Energi Bersih, Masih Jauh Kabel dari Pembangkit
Senin, 28 September 2020 - 22:04 WIB
JAKARTA - Realisasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi baru mencapai 9,15%, masih jauh dari target Kebijakan Energi Nasional sebesar 23% pada 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto mengatakan, perkembangan PLT EBT hanya tumbuh 500 MW per tahun dalam empat tahun terakhir. Menurut dia, tanpa ada upaya serius dan konsisten dari para pemangku kepentingan, kapasitas PLT EBT hanya akan tumbuh 2.500 MW pada tahun 2025. ( Baca juga:Pak Ahok, Pembentukan Super Holding BUMN Tak Bisa Simsalabim )
"Kalau tidak ada effort yang extra ordinary, kita dalam lima tahun ke depan hanya mendapatkan tambahan sekitar 2.500 MW," ujarnya pada webinar Menuju Bauran Energi 2025, Senin (28/9/2020).
Sutijastoto menuturkan, untuk mencapai target EBT 23% tahun 2025 dibutuhkan tambahan kapasitas PLT EBT sebesar 9.000-10.000 MW. Untuk itu perlu upaya bersama secara serius dan konsisten untuk mencapai target EBT 23% tahun 2025.
"Ini effort yang harus kita lakukan untuk mencari berbagai terobosan agar EBT naik namun ekonomi berkembang dan cost juga kompetitif," tuturnya.
Menurut dia, perkembangan kapasitas EBT energi angin dan matahari Indonesia masih sangat jauh dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indonesia masih kalah dibandingkan Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam , dalam pengembangan energi angin dan matahari.
"Kendalanya memang harga EBT kita masih tinggi. Pasar EBT di Indonesia masih kecil jadi belum masuk ke skala keekonomian," ungkapnya.
Sutijastoto melanjutkan, harga pembelian tenaga listrik dari PLT EBT belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar sehingga tidak kompetitif. "Untuk itu perlu kita dorong sehingga market berkembang. Begitu market berkembang maka akan kompetitif dan harga turun sehingga affordability jadi lebih baik," imbuhanya. ( Baca juga:Deretan Pejabat Indonesia yang Meninggal Dunia akibat Covid-19 )
Kendala lainnya seperti keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi listrik PLN sehingga masih mengandalkan teknologi impor. Di sisi lain, keterbatasan akses pada pendanaan yang murah juga masih terbatas.
"Makanya kita sedang mengupayakan untuk bisa akses ke pendanaan yang murah. Kemudian keterbatasan sumber daya manusia (SDM) ini sangat memengaruhi. Dalam pelaksanaan proyek-proyek ini pengendaliannya lebih pada ke pihak ketiga sehingga cost-nya jadi lebih tinggi," jelas Sutijastoto.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto mengatakan, perkembangan PLT EBT hanya tumbuh 500 MW per tahun dalam empat tahun terakhir. Menurut dia, tanpa ada upaya serius dan konsisten dari para pemangku kepentingan, kapasitas PLT EBT hanya akan tumbuh 2.500 MW pada tahun 2025. ( Baca juga:Pak Ahok, Pembentukan Super Holding BUMN Tak Bisa Simsalabim )
"Kalau tidak ada effort yang extra ordinary, kita dalam lima tahun ke depan hanya mendapatkan tambahan sekitar 2.500 MW," ujarnya pada webinar Menuju Bauran Energi 2025, Senin (28/9/2020).
Sutijastoto menuturkan, untuk mencapai target EBT 23% tahun 2025 dibutuhkan tambahan kapasitas PLT EBT sebesar 9.000-10.000 MW. Untuk itu perlu upaya bersama secara serius dan konsisten untuk mencapai target EBT 23% tahun 2025.
"Ini effort yang harus kita lakukan untuk mencari berbagai terobosan agar EBT naik namun ekonomi berkembang dan cost juga kompetitif," tuturnya.
Menurut dia, perkembangan kapasitas EBT energi angin dan matahari Indonesia masih sangat jauh dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Indonesia masih kalah dibandingkan Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam , dalam pengembangan energi angin dan matahari.
"Kendalanya memang harga EBT kita masih tinggi. Pasar EBT di Indonesia masih kecil jadi belum masuk ke skala keekonomian," ungkapnya.
Sutijastoto melanjutkan, harga pembelian tenaga listrik dari PLT EBT belum mencerminkan nilai keekonomian yang wajar sehingga tidak kompetitif. "Untuk itu perlu kita dorong sehingga market berkembang. Begitu market berkembang maka akan kompetitif dan harga turun sehingga affordability jadi lebih baik," imbuhanya. ( Baca juga:Deretan Pejabat Indonesia yang Meninggal Dunia akibat Covid-19 )
Kendala lainnya seperti keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi listrik PLN sehingga masih mengandalkan teknologi impor. Di sisi lain, keterbatasan akses pada pendanaan yang murah juga masih terbatas.
"Makanya kita sedang mengupayakan untuk bisa akses ke pendanaan yang murah. Kemudian keterbatasan sumber daya manusia (SDM) ini sangat memengaruhi. Dalam pelaksanaan proyek-proyek ini pengendaliannya lebih pada ke pihak ketiga sehingga cost-nya jadi lebih tinggi," jelas Sutijastoto.
(uka)
tulis komentar anda