Cadangan Energi Fosil Kian Tipis, Beralih ke EBT Jadi Mutlak
Kamis, 22 Oktober 2020 - 12:00 WIB
JAKARTA - Penggunaan energi fosil yang semakin besar membuat cadangan sumber energi fosil kian menipis. Makanya, peralihan penggunaan energi fosil menuju energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan.
"Transisi energi ini mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan energi di masa mendatang," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Tanpa penemuan cadangan yang baru, sambung Arifin, minyak bumi di Indonesia akan habis dalam sembilan tahun ke depan, gas bumi akan habis 22 tahun lagi, dan batu bara akan habis 65 tahun mendatang. ( Baca juga:Waduh, Cadangan Minyak Bisa Cuma Sampai 9 Tahun Lagi )
Arifin menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki kapasitas (pembangkitan) sumber energi sebesar 70,96 giga watt (GW). Dari kapasitas energi tersebut, 35,36% energi berasal dari batu bara, 19,36% berasal dari gas bumi, 34,38% dari minyak bumi, dan EBT sebesar 10,9%.
Transisi energi ini diharapkan pemerintah akan memperbaiki neraca perdagangan. "Kita sangat serius memperbaiki neraca perdagangan dengan mengurangi impor BBM melalui biodiesel, mengembangkan dan membangunan enam kilang baru untuk menambah kapasitas (migas) nasional, serta mempercepat implementasi kendaraan listrik," jelas Arifin.
Mengantisipasi kemungkinan hal tersebut, pemerintah tengah mengatur berbagai strategi. Selain meningkatkan kegiatan eksplorasi, hal yang paling penting adalah mengoptimalkan penggunaan energi baru dan terbarukan. Indonesia tercatat memiliki potensi sumber daya EBT lebih dari 400 GW, dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sebesar 2,5% atau 10 GW.
Arifin menilai EBT merupakan strategi penting dalam mendorong pemulihan roda ekonomi pasca-pandemi serta menuju Indonesia yang berketahanan. "EBT akan mendorong terciptanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil, berkelanjutan, mengurangi GRK, dan dapat menciptakan banyak lapangan energi," tambahnya.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah telah menyiapkan aturan tentang EBT yang akan keluar dalam waktu dekat. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, beleid berbentuk peraturan presiden alias perpres tersebut tengah difinalisasi.
"Di dalamnya akan mendorong pemanfaatan EBT dan pada yang sama meningkatkan investasi dalam negeri. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam transisi energi ini. Semua sangat bergantung pada investasi karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas," ujar Rida.
Rancangan perpres terkait energi baru terbarukan sebelumnya sudah melewati proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau HAM. Beleid tersebut dikejar untuk diundangkan sebelum akhir tahun.
Di samping itu, pemerintah tengah menyiapkan program renewabale energy based industry development (REBID) dan renewable energy based on economic development (REBED) yang dirancang untuk mempercepat EBT di kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK) dan ekonomi lokal khusus di wilayah 3T.
Adapula pembangunan pembangkit surya dan angin, memaksimalkan pemanfaatan bioenergi melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 12 kota dan biomassa sebagai bahan baku co-firing pada pembangkit PLTU, implementasi B-30 hingga pembangunan green refinery.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
"Transisi energi ini mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan energi di masa mendatang," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Tanpa penemuan cadangan yang baru, sambung Arifin, minyak bumi di Indonesia akan habis dalam sembilan tahun ke depan, gas bumi akan habis 22 tahun lagi, dan batu bara akan habis 65 tahun mendatang. ( Baca juga:Waduh, Cadangan Minyak Bisa Cuma Sampai 9 Tahun Lagi )
Arifin menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki kapasitas (pembangkitan) sumber energi sebesar 70,96 giga watt (GW). Dari kapasitas energi tersebut, 35,36% energi berasal dari batu bara, 19,36% berasal dari gas bumi, 34,38% dari minyak bumi, dan EBT sebesar 10,9%.
Transisi energi ini diharapkan pemerintah akan memperbaiki neraca perdagangan. "Kita sangat serius memperbaiki neraca perdagangan dengan mengurangi impor BBM melalui biodiesel, mengembangkan dan membangunan enam kilang baru untuk menambah kapasitas (migas) nasional, serta mempercepat implementasi kendaraan listrik," jelas Arifin.
Mengantisipasi kemungkinan hal tersebut, pemerintah tengah mengatur berbagai strategi. Selain meningkatkan kegiatan eksplorasi, hal yang paling penting adalah mengoptimalkan penggunaan energi baru dan terbarukan. Indonesia tercatat memiliki potensi sumber daya EBT lebih dari 400 GW, dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sebesar 2,5% atau 10 GW.
Arifin menilai EBT merupakan strategi penting dalam mendorong pemulihan roda ekonomi pasca-pandemi serta menuju Indonesia yang berketahanan. "EBT akan mendorong terciptanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil, berkelanjutan, mengurangi GRK, dan dapat menciptakan banyak lapangan energi," tambahnya.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah telah menyiapkan aturan tentang EBT yang akan keluar dalam waktu dekat. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, beleid berbentuk peraturan presiden alias perpres tersebut tengah difinalisasi.
"Di dalamnya akan mendorong pemanfaatan EBT dan pada yang sama meningkatkan investasi dalam negeri. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam transisi energi ini. Semua sangat bergantung pada investasi karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas," ujar Rida.
Rancangan perpres terkait energi baru terbarukan sebelumnya sudah melewati proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau HAM. Beleid tersebut dikejar untuk diundangkan sebelum akhir tahun.
Di samping itu, pemerintah tengah menyiapkan program renewabale energy based industry development (REBID) dan renewable energy based on economic development (REBED) yang dirancang untuk mempercepat EBT di kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK) dan ekonomi lokal khusus di wilayah 3T.
Adapula pembangunan pembangkit surya dan angin, memaksimalkan pemanfaatan bioenergi melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 12 kota dan biomassa sebagai bahan baku co-firing pada pembangkit PLTU, implementasi B-30 hingga pembangunan green refinery.
Lihat Juga: Gotong Royong Bangun Jargas, Solusi Kurangi Beban Subsidi Energi lewat Optimalisasi Gas Domestik
(uka)
tulis komentar anda