Hasil Penelitian: Cukai Naik dan Harga Jual Tidak Efektif Turunkan Perokok Anak
Kamis, 22 Oktober 2020 - 17:10 WIB
JAKARTA - Kebijakan kenaikan harga rokok baik melalui peningkatan harga jual eceran (HJE) maupun pengenaan atau kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah, tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini (anak) , dan prevalensi stunting. Faktor utama penyebab perokok usia dini adalah lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan si anak, pengendali stress, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orang tua yang rendah.
Demikian, kesimpulan dari hail penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur. Hasil penelitian, metode penelitian beserta waktu penelitian dan nara sumber atau responden penelitian, disampaikan anggota tim peneliti antara lain Imanina Eka Dalilah, SE., ME dan Joko Budi Santoso, SE.,ME kepada pers di Jakarta.
“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok,” papar salah seorang anggota peneliti PPKE Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, Imanina.
(Baca Juga: Jeritan Petani Tembakau Saat Cukai Rokok Dikabarkan Naik 19% )
Dijelaskan oleh Joko Budi Santoso, industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp. 150 Triliun pertahun selama 5 tahun terkahir. Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi. Fakta ini juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemic covid-19.
Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara. Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok. Data menunjukkan, volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017 .
Disamping itu, IHT juga menghadapi tekanan yang terus menggerus IHT, salah satunya adalah isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalansi merokok pada anak usia dini. Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.
Hal ini memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok. Harapannya dengan kebijakan harga akan merubah behavior masyarakat dalam mengkonsumsi produk IHT.
“Di tengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,8% pada 2018. Akan tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini,“ papar Joko Budi Santoso.
Fakta ini terang dia menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. Fenomena ini menjadi salah satu reason perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia.
Demikian, kesimpulan dari hail penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur. Hasil penelitian, metode penelitian beserta waktu penelitian dan nara sumber atau responden penelitian, disampaikan anggota tim peneliti antara lain Imanina Eka Dalilah, SE., ME dan Joko Budi Santoso, SE.,ME kepada pers di Jakarta.
“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok,” papar salah seorang anggota peneliti PPKE Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, Imanina.
(Baca Juga: Jeritan Petani Tembakau Saat Cukai Rokok Dikabarkan Naik 19% )
Dijelaskan oleh Joko Budi Santoso, industri hasil tembakau (IHT) memiliki peran penting dalam menyumbang penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp. 150 Triliun pertahun selama 5 tahun terkahir. Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi. Fakta ini juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemic covid-19.
Meski demikian, keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan yang luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara. Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok. Data menunjukkan, volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017 .
Disamping itu, IHT juga menghadapi tekanan yang terus menggerus IHT, salah satunya adalah isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalansi merokok pada anak usia dini. Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.
Hal ini memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok. Harapannya dengan kebijakan harga akan merubah behavior masyarakat dalam mengkonsumsi produk IHT.
“Di tengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3% pada 2013 menjadi 28,8% pada 2018. Akan tetapi, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini,“ papar Joko Budi Santoso.
Fakta ini terang dia menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan. Fenomena ini menjadi salah satu reason perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia.
tulis komentar anda