Restrukrisasi Kredit Berlanjut Demi Mencegah Kredit Macet
Senin, 26 Oktober 2020 - 19:45 WIB
JAKARTA - Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2022 dinilai tepat, untuk mengantisipasi melemahnya permintaan. Serta dalam upaya memitigasi potensi peningkatan risiko kredit setelah periode relaksasi restrukturisasi berakhir pada Maret 2021.
Selain itu juga memperhatikan kondisi arus kas keuangan debitur yang diperkirakan secara umum belum pulih cukup signifikan. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, perkiraan tersebut didasari oleh kondisi makroekonomi Indonesia hingga saat ini masih belum cukup kuat meskipun menunjukkan tren perbaikan sejak kuartal II-2020 yang dinilai merupakan level terendah dalam perekonomian.
"Meskipun menunjukkan tren perbaikan, kondisi sisi permintaan dari perekonomian masih menunjukkan yang belum kuat. Ini terindikasi dari rendahnya inflasi dan penurunan impor serta lemahnya permintaan kredit perbankan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/10/2020).
(Baca Juga: Asyikk! OJK Perpanjang Relaksasi Restrukrisasi Kredit Setahun )
Fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi COVID-19. Pertumbuhan kredit pada September 2020 kembali menurun dari 1,04% yoy pada Agustus 2020 menjadi 0,12% yoy.
Sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) naik dari 11,64% yoy pada Agustus 2020 menjadi 12,88% yoy didorong ekspansi keuangan Pemerintah. Di tengah tren perlambatan kredit perbankan, rasio NPL per September tercatat di level 3,15%.
"Oleh sebab itu, dikaitkan dengan keputusan OJK untuk memperpanjang periode relaksasi restrukturisasi, maka dapat memitigasi risiko kenaikan rasio NPL secara khusus setelah Maret 2021," jelas Josua.
(Baca Juga: Restrukturisasi Kredit Bisa Manjur Hanya Saat Dunia Usaha Masih Bernafas )
Dengan pengelolaan risiko kredit yakni upaya untuk menekan rasio NPL tetap rendah, maka akan dapat menekan peningkatan ATMR sedemikian sehingga kondisi permodalan perbankan yang terindikasi melalui CAR diperkirakan akan tetap terjaga di level yang tinggi (CAR perbankan per Agustus tercatat di level 23,39%).
Menurut dia, dengan perpanjangan relaksasi restrukturisasi yang didukung oleh tren penurunan suku bunga perbankan mengikuti penurunan suku bunga acuan BI serta kebijakan quantitative easing yang mendukung ketersediaan likuiditas di sektor perbankan, maka kondisi stabilitas sistem perbankan diperkirakan akan tetap kuat serta mendukung peningkatan fungsi intermediasi perbankan.
Kedepannya, fungsi intermediasi perbankan diperkirakan akan semakin membaik sejalan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan baik dari fiskal, moneter dan kebijakan sektor keuangan lainnya.
Selain itu juga memperhatikan kondisi arus kas keuangan debitur yang diperkirakan secara umum belum pulih cukup signifikan. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, perkiraan tersebut didasari oleh kondisi makroekonomi Indonesia hingga saat ini masih belum cukup kuat meskipun menunjukkan tren perbaikan sejak kuartal II-2020 yang dinilai merupakan level terendah dalam perekonomian.
"Meskipun menunjukkan tren perbaikan, kondisi sisi permintaan dari perekonomian masih menunjukkan yang belum kuat. Ini terindikasi dari rendahnya inflasi dan penurunan impor serta lemahnya permintaan kredit perbankan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/10/2020).
(Baca Juga: Asyikk! OJK Perpanjang Relaksasi Restrukrisasi Kredit Setahun )
Fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas sejalan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi COVID-19. Pertumbuhan kredit pada September 2020 kembali menurun dari 1,04% yoy pada Agustus 2020 menjadi 0,12% yoy.
Sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) naik dari 11,64% yoy pada Agustus 2020 menjadi 12,88% yoy didorong ekspansi keuangan Pemerintah. Di tengah tren perlambatan kredit perbankan, rasio NPL per September tercatat di level 3,15%.
"Oleh sebab itu, dikaitkan dengan keputusan OJK untuk memperpanjang periode relaksasi restrukturisasi, maka dapat memitigasi risiko kenaikan rasio NPL secara khusus setelah Maret 2021," jelas Josua.
(Baca Juga: Restrukturisasi Kredit Bisa Manjur Hanya Saat Dunia Usaha Masih Bernafas )
Dengan pengelolaan risiko kredit yakni upaya untuk menekan rasio NPL tetap rendah, maka akan dapat menekan peningkatan ATMR sedemikian sehingga kondisi permodalan perbankan yang terindikasi melalui CAR diperkirakan akan tetap terjaga di level yang tinggi (CAR perbankan per Agustus tercatat di level 23,39%).
Menurut dia, dengan perpanjangan relaksasi restrukturisasi yang didukung oleh tren penurunan suku bunga perbankan mengikuti penurunan suku bunga acuan BI serta kebijakan quantitative easing yang mendukung ketersediaan likuiditas di sektor perbankan, maka kondisi stabilitas sistem perbankan diperkirakan akan tetap kuat serta mendukung peningkatan fungsi intermediasi perbankan.
Kedepannya, fungsi intermediasi perbankan diperkirakan akan semakin membaik sejalan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan baik dari fiskal, moneter dan kebijakan sektor keuangan lainnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda