Menaklukkan Lidah Para Bangsawan dengan Manisnya Keripik Pisang
Sabtu, 31 Oktober 2020 - 12:00 WIB
Dari sinilah kesuksesan Titi bermula. Distributor makanan ringan asal Brunei Darussalam tertarik untuk memasarkan produk Titi dengan volume yang besar. Dia pun menyanggupi keinginan perusahaan yang kemudian membayar down payment sebesar 70% dari total nilai kontrak itu. Sukses di Brunei, membuat Titi semakin bersemangat untuk memperluas jangkauan pemasaran produknya. Jika Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) lainnya hanya berkutat di pasar Asia, lain halnya dengan Titi.
Dia langsung masuk ke jantung ekonomi dunia, Eropa. Sebagai UMKM binaan PT Pertamina (Persero), Titi percaya diri menawarkan produknya ke negara-negara seperti Jerman, Perancis, Belanda dan Belgia yang menjadi incarannya. Empat negara tersebut dikenal sebagai negara para bangsawan. Masih banyak para ningrat keturunan raja-raja Eropa di negara-negara itu. Sehingga, sudah pasti negara-negara tersebut memiliki lembaga yang menerapkan standar mutu produk yang tinggi. Sehingga jika berhasil menaklukkan Eropa, maka Titi berkeyakinan bisa menaklukkan dunia. "Respons negara-negara tersebut cukup baik, sehingga saya bisa melakukan ekspor satu kontainer aneka keripik ke Eropa pada 2016," ujarnya.
Sukses di Eropa, Titi berekspansi ke Uni Emirat Arab (UEA), negeri para Sultan. Benar saja, karena sudah memenuhi standar pasar Eropa, keripik Titi langsung diterima di pasar Dubai dan Abu Dhabi. Apalagi, produk keripik Titi telah memiliki sertifikasi halal di dalam negeri sehingga semakin mudah diterima di Timur Tengah dan mengalahkan produk-produk sejenis dari Thailand dan Vietnam. "Di Timur Tengah pembeli lebih percaya dengan sertifikasi halal dari Indonesia dibandingkan negara lainnya," urainya.
Sedangkan untuk pasar Eropa, produk harus memenuhi standar mutu dari otoritas pengawas makanan setempat. Misalnya, harus lolos dari ketentuan batas kadar logam, kadar pewarna, kadar bakteri dan lainnya. Jika disetujui, barulah produsen atau pemasok berhak untuk melakukan registrasi produknya untuk dijual di Eropa. Hal itu tentunya bukan perkara mudah, namun Titi berhasil melaluinya dengan gemilang. "Saat memasarkan keripik ke Uni Emirat Arab, ditanya sudah masuk ke pasar mana saja, saya jawab Eropa, langsung produk saya diterima," ungkapnya.
Dengan semakin besarnya volume ekspor keripiknya, Titi mengaku kewalahan. Untuk memproduksi di rumahnya, tidak memungkinkan karena keterbatasan lahan dan dekat dengan kawasan permukiman. Akhirnya, Titi memutuskan mengalihkan produksinya ke Karawang, Jawa Barat. "Karena tidak hanya memproduksi keripik pisang saja, saya menambah varian keripik buah-buahan. Seperti keripik nagka, keripik nanas, keripik salak, juga keripik tempe dan lainnya," urainya.
Untuk memenuhi kuota seperti yang diminta para pembeli, Titi melibatkan mantan pekerja migran di banyak daerah di Indonesia untuk melakukan produksi bersama-sama sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Jenis keripik buah-buahan diproduksi dengan melibatkan para mantan pekerja migran di Batu, Jawa Timur. Sedangkan untuk produk rengginang dan kerupuk ikan produksinya melibatkan para mantan pekerja migran di Indramayu, Jawa Barat.
"Untuk memproduksi sendiri saya tidak mampu. Melalui sinergi dengan mantan pekerja migran lainnya, kami bisa mengekspor empat kontainer keripik ke Qatar," katanya. Titi pun sudah meneken kontrak untuk memasok pasar ritel Qatar, negeri muslim terkaya di dunia itu, hingga tahun depan.
Saat ini, produksi keripik Titi yang dibantu oleh pekerja migran lainnya mencapai 100 ton per hari dengan omzet miliaran rupiah. Titi mengekspornya dalam bentuk curah, sehingga di masing-masing negara tujuan produk keripik tersebut dikemas dengan merek yang berbeda-beda. Di Singapura misalnya, menggunakan merek BFF sedangkan di Brunei Darussalam dikemas dengan brand Fruit Chips.
Di fasilitas produksi Karawang, semua yang terlibat adalah mantan pekerja migran yang berjumlah ratusan orang. Untuk melibatkan mantan pekerja migran, Titi menggunakan jaringan komunitas mantan pekerja migran yang legal maupun ilegal. "Maksudnya yang ilegal itu, mereka dulu ke Arab Saudi bekerja menggunakan visa umroh, dan banyak yang dipulangkan secara paksa ke Indonesia. Sehingga saya libatkan, termasuk untuk pelatihan, agar mereka punya skill dan mengetahui standar mutu, meskipun sekadar membuat keripik," katanya.
Sebagian besar yang bergabung dengan Titi adalah mantan pekerja migran yang kini menjadi ibu rumah tangga. Mereka ingin memiliki penghasilan tetapi tidak bisa meninggalkan anak-anaknya di rumah. "Ada perasaan yang sama seperti yang saya alami dulu. Karena itu, saya ingin memberdayakan ibu-ibu mantan pekerja migran. Sehingga, meskipun di rumah bersama anak-anak tetapi tetap memiliki penghasilan," urainya. Saat ini, jumlah mantan pekerja migran yang sudah bergabung dengan jaringan produksi keripik Titi mencapai lebih dari 2.000 orang.
Dia langsung masuk ke jantung ekonomi dunia, Eropa. Sebagai UMKM binaan PT Pertamina (Persero), Titi percaya diri menawarkan produknya ke negara-negara seperti Jerman, Perancis, Belanda dan Belgia yang menjadi incarannya. Empat negara tersebut dikenal sebagai negara para bangsawan. Masih banyak para ningrat keturunan raja-raja Eropa di negara-negara itu. Sehingga, sudah pasti negara-negara tersebut memiliki lembaga yang menerapkan standar mutu produk yang tinggi. Sehingga jika berhasil menaklukkan Eropa, maka Titi berkeyakinan bisa menaklukkan dunia. "Respons negara-negara tersebut cukup baik, sehingga saya bisa melakukan ekspor satu kontainer aneka keripik ke Eropa pada 2016," ujarnya.
Sukses di Eropa, Titi berekspansi ke Uni Emirat Arab (UEA), negeri para Sultan. Benar saja, karena sudah memenuhi standar pasar Eropa, keripik Titi langsung diterima di pasar Dubai dan Abu Dhabi. Apalagi, produk keripik Titi telah memiliki sertifikasi halal di dalam negeri sehingga semakin mudah diterima di Timur Tengah dan mengalahkan produk-produk sejenis dari Thailand dan Vietnam. "Di Timur Tengah pembeli lebih percaya dengan sertifikasi halal dari Indonesia dibandingkan negara lainnya," urainya.
Sedangkan untuk pasar Eropa, produk harus memenuhi standar mutu dari otoritas pengawas makanan setempat. Misalnya, harus lolos dari ketentuan batas kadar logam, kadar pewarna, kadar bakteri dan lainnya. Jika disetujui, barulah produsen atau pemasok berhak untuk melakukan registrasi produknya untuk dijual di Eropa. Hal itu tentunya bukan perkara mudah, namun Titi berhasil melaluinya dengan gemilang. "Saat memasarkan keripik ke Uni Emirat Arab, ditanya sudah masuk ke pasar mana saja, saya jawab Eropa, langsung produk saya diterima," ungkapnya.
Dengan semakin besarnya volume ekspor keripiknya, Titi mengaku kewalahan. Untuk memproduksi di rumahnya, tidak memungkinkan karena keterbatasan lahan dan dekat dengan kawasan permukiman. Akhirnya, Titi memutuskan mengalihkan produksinya ke Karawang, Jawa Barat. "Karena tidak hanya memproduksi keripik pisang saja, saya menambah varian keripik buah-buahan. Seperti keripik nagka, keripik nanas, keripik salak, juga keripik tempe dan lainnya," urainya.
Untuk memenuhi kuota seperti yang diminta para pembeli, Titi melibatkan mantan pekerja migran di banyak daerah di Indonesia untuk melakukan produksi bersama-sama sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Jenis keripik buah-buahan diproduksi dengan melibatkan para mantan pekerja migran di Batu, Jawa Timur. Sedangkan untuk produk rengginang dan kerupuk ikan produksinya melibatkan para mantan pekerja migran di Indramayu, Jawa Barat.
"Untuk memproduksi sendiri saya tidak mampu. Melalui sinergi dengan mantan pekerja migran lainnya, kami bisa mengekspor empat kontainer keripik ke Qatar," katanya. Titi pun sudah meneken kontrak untuk memasok pasar ritel Qatar, negeri muslim terkaya di dunia itu, hingga tahun depan.
Saat ini, produksi keripik Titi yang dibantu oleh pekerja migran lainnya mencapai 100 ton per hari dengan omzet miliaran rupiah. Titi mengekspornya dalam bentuk curah, sehingga di masing-masing negara tujuan produk keripik tersebut dikemas dengan merek yang berbeda-beda. Di Singapura misalnya, menggunakan merek BFF sedangkan di Brunei Darussalam dikemas dengan brand Fruit Chips.
Di fasilitas produksi Karawang, semua yang terlibat adalah mantan pekerja migran yang berjumlah ratusan orang. Untuk melibatkan mantan pekerja migran, Titi menggunakan jaringan komunitas mantan pekerja migran yang legal maupun ilegal. "Maksudnya yang ilegal itu, mereka dulu ke Arab Saudi bekerja menggunakan visa umroh, dan banyak yang dipulangkan secara paksa ke Indonesia. Sehingga saya libatkan, termasuk untuk pelatihan, agar mereka punya skill dan mengetahui standar mutu, meskipun sekadar membuat keripik," katanya.
Sebagian besar yang bergabung dengan Titi adalah mantan pekerja migran yang kini menjadi ibu rumah tangga. Mereka ingin memiliki penghasilan tetapi tidak bisa meninggalkan anak-anaknya di rumah. "Ada perasaan yang sama seperti yang saya alami dulu. Karena itu, saya ingin memberdayakan ibu-ibu mantan pekerja migran. Sehingga, meskipun di rumah bersama anak-anak tetapi tetap memiliki penghasilan," urainya. Saat ini, jumlah mantan pekerja migran yang sudah bergabung dengan jaringan produksi keripik Titi mencapai lebih dari 2.000 orang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda