IFADS: Cukai Rokok Naik, Kesejahteraan Petani Terancam
Selasa, 10 November 2020 - 19:05 WIB
JAKARTA - Institute for Foods and Agriculture Development Studies (IFADS) menyatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau seharusnya tidak dilakukan saat situasi petani tembakau tidak sejahtera. Rencana pemerintah untuk menaikkan cukai hasil tembakau dinilai kurang bijaksana di saat situasi petani tembakau masih belum makmur.
Chairman Institute for Foods and Agriculture Development Studies (IFADS) Andi Nuhung menilai tingkat kesejahteraan petani tembakau masih rendah walaupun tembakau termasuk komoditi yang menjanjikan pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa komoditi lainnya. Akan tetapi, lantaran areal yang kecil dan tidak ada subsidi, petani tembakau akhirnya kerap memperoleh margin yang kecil.
(Baca Juga: Lagi Resesi, Kenaikan Cukai Rokok Bisa Tambah Pengangguran)
Sementara selama ini kebijakan di bidang pertanian, termasuk tembakau, sering ditujukan untuk mencapai target-target pemerintah, misalnya untuk meningkatkan penerimaan negara.
“Tetapi justru kebijakan itu relatif kontraproduktif dengan pembangunan kesejahteraan petani tembakau. Areal bertaninya sudah kecil, biaya inputnya mahal, dan dibebankan pajak/cukai tinggi lagi, pasti petani akan berteriak,” kata Andi di Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Hal ini menurutnya tidak sejalan dengan target pemerintah dalam sektor pertanian yakni meningkatkan kesejahteraan petani. Dia melihat saat ini pengembangan tembakau nasional agak kendor, sehingga kebutuhan serapan tembakau tidak terpenuhi. Jika serapan rendah akibat kenaikan cukai, industri hasil tembakau pasti akan kesulitan juga karena petani akan menuntut harga tembakau dinaikkan. “Artinya, cost-nya akan bergeser dari petani ke pabrik,” ujarnya.
(Baca Juga: Peneliti Sebut Rencana Kenaikan Cukai Rokok Mesti Ditinjau Ulang)
Andi Nuhung juga mengatakan bahwa petani tembakau juga sulit untuk beralih ke komoditi lain karena bertani tembakau sudah menjadi bagian budaya turun temurun. “Sayangnya ini sering kali tidak diperhitungkan, padahal tidak mudah untuk beralih ke komoditi lain karena petani tersebut sudah menyatu dengan budidaya tembakau, sama seperti petani padi dan petani singkong,” ujarnya
Chairman Institute for Foods and Agriculture Development Studies (IFADS) Andi Nuhung menilai tingkat kesejahteraan petani tembakau masih rendah walaupun tembakau termasuk komoditi yang menjanjikan pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa komoditi lainnya. Akan tetapi, lantaran areal yang kecil dan tidak ada subsidi, petani tembakau akhirnya kerap memperoleh margin yang kecil.
(Baca Juga: Lagi Resesi, Kenaikan Cukai Rokok Bisa Tambah Pengangguran)
Sementara selama ini kebijakan di bidang pertanian, termasuk tembakau, sering ditujukan untuk mencapai target-target pemerintah, misalnya untuk meningkatkan penerimaan negara.
“Tetapi justru kebijakan itu relatif kontraproduktif dengan pembangunan kesejahteraan petani tembakau. Areal bertaninya sudah kecil, biaya inputnya mahal, dan dibebankan pajak/cukai tinggi lagi, pasti petani akan berteriak,” kata Andi di Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Hal ini menurutnya tidak sejalan dengan target pemerintah dalam sektor pertanian yakni meningkatkan kesejahteraan petani. Dia melihat saat ini pengembangan tembakau nasional agak kendor, sehingga kebutuhan serapan tembakau tidak terpenuhi. Jika serapan rendah akibat kenaikan cukai, industri hasil tembakau pasti akan kesulitan juga karena petani akan menuntut harga tembakau dinaikkan. “Artinya, cost-nya akan bergeser dari petani ke pabrik,” ujarnya.
(Baca Juga: Peneliti Sebut Rencana Kenaikan Cukai Rokok Mesti Ditinjau Ulang)
Andi Nuhung juga mengatakan bahwa petani tembakau juga sulit untuk beralih ke komoditi lain karena bertani tembakau sudah menjadi bagian budaya turun temurun. “Sayangnya ini sering kali tidak diperhitungkan, padahal tidak mudah untuk beralih ke komoditi lain karena petani tersebut sudah menyatu dengan budidaya tembakau, sama seperti petani padi dan petani singkong,” ujarnya
(fai)
tulis komentar anda