Aturan Miras Sudah Ketat, Pengusaha Hotel-Resto: RUU Larang Minum Alkohol Seram
Senin, 16 November 2020 - 19:38 WIB
JAKARTA - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Hubungan Antarlembaga Bambang Britono mengatakan, bahwa segenap PHRI dan seluruh stakeholder industri pariwisata menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) . Dia mengatakan, RUU ini kontraproduktif dengan rencana industri pariwisata sebelum pandemi Covid-19 menerpa.
"Menurut kami, RUU ini tidak diperlukan, karena sebagaimana kita ketahui, minol sudah diatur ketat dari hulu ke hilir. Kalau ada penyimpangan, ada KUHP," ujar Bambang dalam konferensi pers virtual APINDO di Jakarta, Senin (16/11/2020).
(Baca Juga: RUU Larangan Minol Bisa Bikin Kusam Wajah Pariwisata Indonesia )
Menurut Bambang, industri ini sangat regulated. Begitu sampai di tempat penjualan, penjual minuman beralkohol meski hanya sebotol pun harus ikut peraturan. "Ini tentu tidak sama seperti penjual air mineral. Kalau ada yang menyimpang, sanksinya cukup berat," ungkapnya.
Kehadiran RUU ini membuat pihak PHRI mempertanyakan tindakan dari para lawmakers. "Bagaimana bisa lawmaker bikin produsen, importir, distributor, dan konsumen bisa kena penalti kalau mereka menyimpan, memproduksi dan mengonsumsi minol? Apalagi ini jadi trending, karena ini agak seram," terangnya.
(Baca Juga: Ribut-ribut Larangan Minum Alkohol, Kadin: Coba Tengok Malaysia )
Bambang mengatakan, masih banyak RUU yang lebih produktif yang perlu dipertimbangkan oleh DPR daripada RUU Larangan Minol. "Dalam jangka panjang, kalau UU ini disahkan, kami khawatir wajah Indonesia di dunia akan berubah. Karena tujuan wisata harus ramah terhadap wisatawan, terbuka dan accessible," tuturnya.
Dia menandaskan, bahwa RUU ini bisa memberikan imbas serius terhadap industri pariwisata yang tertatih-tatih akibat kontraksi PSBB masa pandemi Covid-19. "Kalau ada info kayak gini kan turis akan ngecek dulu, ini membawa citra yang kurang positif. PHRI dan seluruh stakeholders usaha pariwisata menolak RUU tersebut," pungkas Bambang.
"Menurut kami, RUU ini tidak diperlukan, karena sebagaimana kita ketahui, minol sudah diatur ketat dari hulu ke hilir. Kalau ada penyimpangan, ada KUHP," ujar Bambang dalam konferensi pers virtual APINDO di Jakarta, Senin (16/11/2020).
(Baca Juga: RUU Larangan Minol Bisa Bikin Kusam Wajah Pariwisata Indonesia )
Menurut Bambang, industri ini sangat regulated. Begitu sampai di tempat penjualan, penjual minuman beralkohol meski hanya sebotol pun harus ikut peraturan. "Ini tentu tidak sama seperti penjual air mineral. Kalau ada yang menyimpang, sanksinya cukup berat," ungkapnya.
Kehadiran RUU ini membuat pihak PHRI mempertanyakan tindakan dari para lawmakers. "Bagaimana bisa lawmaker bikin produsen, importir, distributor, dan konsumen bisa kena penalti kalau mereka menyimpan, memproduksi dan mengonsumsi minol? Apalagi ini jadi trending, karena ini agak seram," terangnya.
(Baca Juga: Ribut-ribut Larangan Minum Alkohol, Kadin: Coba Tengok Malaysia )
Bambang mengatakan, masih banyak RUU yang lebih produktif yang perlu dipertimbangkan oleh DPR daripada RUU Larangan Minol. "Dalam jangka panjang, kalau UU ini disahkan, kami khawatir wajah Indonesia di dunia akan berubah. Karena tujuan wisata harus ramah terhadap wisatawan, terbuka dan accessible," tuturnya.
Dia menandaskan, bahwa RUU ini bisa memberikan imbas serius terhadap industri pariwisata yang tertatih-tatih akibat kontraksi PSBB masa pandemi Covid-19. "Kalau ada info kayak gini kan turis akan ngecek dulu, ini membawa citra yang kurang positif. PHRI dan seluruh stakeholders usaha pariwisata menolak RUU tersebut," pungkas Bambang.
(akr)
tulis komentar anda