Curhatan OJK Soal Tantangan dan Kendala Penerapan Restrukturisasi Kredit

Jum'at, 20 November 2020 - 21:16 WIB
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengakui, terdapat beberapa tantangan dalam menerapkan Restrukturisasi kredit. Foto/Ilustrasi
JAKARTA - Pandemi Covid-19 di Indonesia membuat sejumlah sektor usaha mengalami kelesuan. Alhasil, para pebisnis pun mengalami kesulitan dalam membayar cicilan utangnya ke lembaga perbankan. Melihat fenomena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan kebijakan POJK/11 tentang restrukturisasi kredit .

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengakui, terdapat beberapa tantangan dalam menerapkan POJK/11 tersebut. Di antaranya adalah menyeimbangkan antara kebutuhan debitur dengan kapasitas likuiditas bank.

“Kualitas governance dan integritas para pelaku perbankan serta debitur sangat menentukan kelancaran pemberian restrukturisasi. Bank perlu memastikan tidak terjadi moral hazard atau adanya free rider dalam penerapan relaksasi ini,” kata Heru dalam diskusi daring, Jumat (20/11/2020).

(Baca Juga: Restrukturisasi Kredit Tembus Rp932,6 Triliun, Semoga Debitur Bisa Bayar Utangnya )



Tak hanya itu, dalam menerapkan POJK/11 ini tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Lalu, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa kebijakan itu dapat diterapkan kepada seluruh jenis kredit.

“Mereka memandang bahwa kredit semuanya boleh direstrukturisasi, ini yang berkali-kali terjadi, karena kurangnya pemahaman," ujarnya.

Kemudian, terkait kendala realisasi restrukturisasi kredit yang belum optimal karena adanya kesulitan tatap muka, verifikasi data, dan pengkinian kondisi debitur akibat social distancing dan pembatasan akses di beberapa wilayah. Lalu, adanya restrukturisasi debitur secara bulk untuk yang bersifat mass product.

(Baca Juga: Bank Harus Perhatikan 4 Hal Ini Sebelum Perpanjang Restrukturisasi Kredit ke Debitur )

“Proses restrukturisasi harus dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam kredit restrukturisasi berpotensi menghambat proses percepatan stimulus. Persetujuan restrukturisasi yang harus naik 1 tingkat menimbulkan bottle neck pemrosesan restrukturisasi,” ujarnya.

Selanjutnya, beberapa fungsi operasional tidak dapat dilakukan melalui work from home, sehingga dilakukan mekanisme split office. Terakhir, tantangan dari industri yang masih berpedoman pada SOP lama sehingga cenderung memakan waktu dan birokrasi.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More