Menakar Peluang Rebound Saham BNI
Minggu, 12 April 2020 - 22:28 WIB
JAKARTA - Bursa Saham Indonesia bergejolak setelah pandemi virus corona meluas dan pasien dengan kasus positif bertambah banyak di Tanah Air. Secara historis, gejolak bursa saham ini pernah terjadi pada periode 2008-2009, akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat.
Kala itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 60% dari posisi tertinggi 2008 di 2.830 hingga posisi terendah 1.111. Sementara itu secara year to date 2008, IHSG anjlok lebih dari 50% hingga menyentuh 1.355,41 pada 31 Desember 2008.
Sejalan dengan hal itu, bursa mengalami kepanikan. Investor melakukan panic selling, termasuk investor asing yang menarik dananya dan terjadi outflow besar-besaran. Namun, bagi sebagian orang ternyata fenomena tersebut menjadi peluang. Apalagi bagi yang paham bahwa kondisi tersebut tidak berlangsung lama dan berangsur-angsur bakal normal Kembali.
Sebagai contoh, pergerakan saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Pada 2008, saham BNI pun harus terlempar dari level Rp1.071 per saham hingga menyentuh Rp393 per saham pada 24 November 2008. Saham BNI, terdepresiasi 72,6% hanya dalam 2 bulan.
Kondisi ini berlanjut hingga memasuki 2009, di mana sejak awal tahun hingga pertengahan tahun saham BNI bergerak pada kisaran Rp600-900 per saham. Namun, pasca Mei 2009, saham BNI bergerak di atas level Rp 1.000 dan perlahan-lahan bangkit dan hampir menyentuh Rp2.000 per saham.
Kemudian, saham BNI kembali "pulih" dan kembali bergerak di kisaran Rp2.000/saham pada Maret 2010, dan bangkit ke level Rp3.081/saham pada Agustus. Di penghujung tahun 2010 pun BNI mencapai level tertinggi sejak krisis menghantam yakni Rp4.700/saham. Artinya sejak menyentuh titik terendah, saham BNI bisa meningkat hampir 12 kali lipat hanya dalam kurun waktu sekitar 2 tahun.
Sebagai ilustrasi sederhana, bila investor berinvestasi senilai Rp100 juta di 2008 di saham BNI, maka kekayaannya akan berlipat hingga lebih dari Rp1,1 miliar hanya dalam waktu 2 tahun.
Analis menilai kondisi saat ini tidak jauh berbeda dengan 2008-2009. IHSG tertekan dan menyentuh titik terendahnya sejak 2013, pada penutupan perdagangan Senin (23/3) merosot ke level 3.989. Sejak awal tahun (year to date) IHSG pun tercatat sudah turun 26,56%.
Meski demikian, penurunan terhadap IHSG tidak berlangsung lama, segera setelah mencatat level terendah IHSG pun segera bangkit dan kini, Rabu (8/4) kembali di level 4.626. Begitu juga dengan saham BNI yang sempat menyentuh Rp3.390/saham saat IHSG meninggalkan 4.000. Namun tidak butuh waktu lama untuk BNI perlahan tapi pasti menanjak naik, dan ditutup Rp 4.010/saham pada Rabu (8/4) lalu. Kenaikan lebih dari 20% hanya dalam hitungan hari.
Kala itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 60% dari posisi tertinggi 2008 di 2.830 hingga posisi terendah 1.111. Sementara itu secara year to date 2008, IHSG anjlok lebih dari 50% hingga menyentuh 1.355,41 pada 31 Desember 2008.
Sejalan dengan hal itu, bursa mengalami kepanikan. Investor melakukan panic selling, termasuk investor asing yang menarik dananya dan terjadi outflow besar-besaran. Namun, bagi sebagian orang ternyata fenomena tersebut menjadi peluang. Apalagi bagi yang paham bahwa kondisi tersebut tidak berlangsung lama dan berangsur-angsur bakal normal Kembali.
Sebagai contoh, pergerakan saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Pada 2008, saham BNI pun harus terlempar dari level Rp1.071 per saham hingga menyentuh Rp393 per saham pada 24 November 2008. Saham BNI, terdepresiasi 72,6% hanya dalam 2 bulan.
Kondisi ini berlanjut hingga memasuki 2009, di mana sejak awal tahun hingga pertengahan tahun saham BNI bergerak pada kisaran Rp600-900 per saham. Namun, pasca Mei 2009, saham BNI bergerak di atas level Rp 1.000 dan perlahan-lahan bangkit dan hampir menyentuh Rp2.000 per saham.
Kemudian, saham BNI kembali "pulih" dan kembali bergerak di kisaran Rp2.000/saham pada Maret 2010, dan bangkit ke level Rp3.081/saham pada Agustus. Di penghujung tahun 2010 pun BNI mencapai level tertinggi sejak krisis menghantam yakni Rp4.700/saham. Artinya sejak menyentuh titik terendah, saham BNI bisa meningkat hampir 12 kali lipat hanya dalam kurun waktu sekitar 2 tahun.
Sebagai ilustrasi sederhana, bila investor berinvestasi senilai Rp100 juta di 2008 di saham BNI, maka kekayaannya akan berlipat hingga lebih dari Rp1,1 miliar hanya dalam waktu 2 tahun.
Analis menilai kondisi saat ini tidak jauh berbeda dengan 2008-2009. IHSG tertekan dan menyentuh titik terendahnya sejak 2013, pada penutupan perdagangan Senin (23/3) merosot ke level 3.989. Sejak awal tahun (year to date) IHSG pun tercatat sudah turun 26,56%.
Meski demikian, penurunan terhadap IHSG tidak berlangsung lama, segera setelah mencatat level terendah IHSG pun segera bangkit dan kini, Rabu (8/4) kembali di level 4.626. Begitu juga dengan saham BNI yang sempat menyentuh Rp3.390/saham saat IHSG meninggalkan 4.000. Namun tidak butuh waktu lama untuk BNI perlahan tapi pasti menanjak naik, dan ditutup Rp 4.010/saham pada Rabu (8/4) lalu. Kenaikan lebih dari 20% hanya dalam hitungan hari.
Lihat Juga :
tulis komentar anda