Perpres No 64/2020 Dinilai Bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS
Rabu, 13 Mei 2020 - 13:37 WIB
JAKARTA - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengkritisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Menurut dia, jika disandingkan, isi Perpres 64/2020 ini dengan Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) maka sangat kasat mata Perpres ini bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS.
"UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan pemerintah hanya membayar iuran rakyat miskin, tapi di Perpres 64/2020 ini peserta mandiri kelas 3 yang juga tergolong mampu, disubsudi oleh pemerintah. Kelas 3 mandiri itu juga dihuni oleh orang mampu. Orang mampu di kelas 2 dan kelas 1 sudah banyak yang turun kelas ke kelas 3 ketika Pepres 75/2019 dirilis," ujar Timboel di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
(Baca Juga: Perpres 64/2020 Diteken, Ini Rincian Kenaikan Iuran BPJS Per 1 Juli 2020)
Seharusnya, menurut Timboel, langkah yang diambil adalah melakukan cleansing data Penerima Bantuan Iuran (PBI). "Bila memang penghuni kelas 3 mandiri miskin, ya masukkan saja ke PBI, sementara yang mampu, bayar sendiri tanpa subsidi. Saya kira UU SJSN dan UU BPJS tidak boleh dilanggar oleh Perpres 64/2020 ini. Kalau pemerintah mau seperti Perpres 64 ini ya lakukan saja Perppu terhadap UU SJSN dan UU BPJS untuk memuluskan Perpres 64 tersebut," paparnya.
Dia menambahkan, di tengah kondisi darurat pandemi ini, pekerja informal yang sangat sulit ekonominya justru dinaikkan iurannya per 1 Juli 2020 untuk kelas 1 dan 2, yang nilainya tak jauh dari besaran iuran yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
Sebagai informasi, Per 1 Juli 2020, tarif iuran kelas 1 naik lagi jadi Rp150.000 per orang per bulan. Kelas 2 naik menjadi Rp100.000. Kelas 3 di subsidi Rp16.500 dan per 1 Januari 2021 naik menjadi Rp35.000 sehingga pemerintah hanya menyubsidi Rp7.000.
"Rakyat sudah susah malah disusahin lagi. Rakyat yang tidak mampu bayar Rp150.000 dan Rp100.000 di Juli 2020 nanti akan jadi non-aktif. Tunggakan iuran akan meningkat lagi. Kalau non-aktif tidak bisa dijamin. Terus hak konstitusional rakyat mendapatkan jaminan kesehatannya dimana?" cetus Timboel.
(Baca Juga: BPJS Watch Sebut Perpres 64 Tahun 2020 Memberatkan Masyarakat)
Ia menyampaikan, Perpres 82/2018 memang mengamanatkan iuran ditinjau paling lama dua tahun. Tetapi, pasal ini juga harus melihat kondisi riil daya beli masyarakat seperti yang diamanatkan hakim MA dalam pertimbangan hukumnya.
"Jangan juga pemerintah aji mumpung pakai pasal itu untuk memberatkan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini. Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini. Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan," pungkas Timboel.
"UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan pemerintah hanya membayar iuran rakyat miskin, tapi di Perpres 64/2020 ini peserta mandiri kelas 3 yang juga tergolong mampu, disubsudi oleh pemerintah. Kelas 3 mandiri itu juga dihuni oleh orang mampu. Orang mampu di kelas 2 dan kelas 1 sudah banyak yang turun kelas ke kelas 3 ketika Pepres 75/2019 dirilis," ujar Timboel di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
(Baca Juga: Perpres 64/2020 Diteken, Ini Rincian Kenaikan Iuran BPJS Per 1 Juli 2020)
Seharusnya, menurut Timboel, langkah yang diambil adalah melakukan cleansing data Penerima Bantuan Iuran (PBI). "Bila memang penghuni kelas 3 mandiri miskin, ya masukkan saja ke PBI, sementara yang mampu, bayar sendiri tanpa subsidi. Saya kira UU SJSN dan UU BPJS tidak boleh dilanggar oleh Perpres 64/2020 ini. Kalau pemerintah mau seperti Perpres 64 ini ya lakukan saja Perppu terhadap UU SJSN dan UU BPJS untuk memuluskan Perpres 64 tersebut," paparnya.
Dia menambahkan, di tengah kondisi darurat pandemi ini, pekerja informal yang sangat sulit ekonominya justru dinaikkan iurannya per 1 Juli 2020 untuk kelas 1 dan 2, yang nilainya tak jauh dari besaran iuran yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
Sebagai informasi, Per 1 Juli 2020, tarif iuran kelas 1 naik lagi jadi Rp150.000 per orang per bulan. Kelas 2 naik menjadi Rp100.000. Kelas 3 di subsidi Rp16.500 dan per 1 Januari 2021 naik menjadi Rp35.000 sehingga pemerintah hanya menyubsidi Rp7.000.
"Rakyat sudah susah malah disusahin lagi. Rakyat yang tidak mampu bayar Rp150.000 dan Rp100.000 di Juli 2020 nanti akan jadi non-aktif. Tunggakan iuran akan meningkat lagi. Kalau non-aktif tidak bisa dijamin. Terus hak konstitusional rakyat mendapatkan jaminan kesehatannya dimana?" cetus Timboel.
(Baca Juga: BPJS Watch Sebut Perpres 64 Tahun 2020 Memberatkan Masyarakat)
Ia menyampaikan, Perpres 82/2018 memang mengamanatkan iuran ditinjau paling lama dua tahun. Tetapi, pasal ini juga harus melihat kondisi riil daya beli masyarakat seperti yang diamanatkan hakim MA dalam pertimbangan hukumnya.
"Jangan juga pemerintah aji mumpung pakai pasal itu untuk memberatkan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini. Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini. Presiden harus melakukan evaluasi kepada seluruh anak buahnya yang terkait JKN, terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan," pungkas Timboel.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda