Ini Alasan Anies Tagih Dana Bagi Hasil ke Kemenkeu yang Memicu Polemik
Rabu, 13 Mei 2020 - 15:53 WIB
Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan untuk mencairkan DBH ada tata caranya. Mekanismenya adalah pemerintah mencairkan 50% terlebih dahulu karena masih menunggu hasil Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mengikuti mekanismenya, maka DBH kurang bayar pemerintah ke daerah dibayarkan pada bulan Agustus atau September tahun berikutnya, setelah selesai audit LKPP oleh BPK.
Untuk sisa kekuarangan DBH yang belum dibayar, akan dilunasi setelah ada angka resmi kekurangan yang perlu dibayarkan Pemerintah ke Pemda sesuai hasil audit BPK. Yustinus menegaskan, jangan terkesan Pemprov DKI seperti orang menagih utang jatuh tempo dan belum dibayar. DBH memang hak Pemprov, tapi ada aturan dan mekanismenya yang jelas, sehingga seolah pemerintah pusat itu mengemplang utang.
Sri Mulyani pun mengamini apayang disampaikan Yustinus. stafnya itu mengatakan, pemerintah pusat sudah menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil sebesar Rp 2,6 triliun kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun sisanya baru bisa dicairkan setelah audit BPK rampung “Sisanya kami akan segera, begitu kami sudah menyelesaikan laporan keuangan pemerintah pusat,” katanya.
Tak ingin dianggap sebagai penghalang pencairan DBH Provinsi Jakarta, Ketua BPK Agung Firman pun ikut bersuara. Menurutnya, tidak ada kaitan antara pemeriksaan BPK dengan pembayaran DBH. Menurutnya, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH. "Tidak ada hubungannya," tegas Agung.
Ketua BPK menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Tidak ada ketentuannya di Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.
Jadi, silahkan saja Kementerian Keuangan untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu. Tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan atau audit BPK.
Defisit APBD
Di saat pandemi seperti ini DBH memang amat dibutuhkan oleh Pemprov, pasalnya pendapatan Pemprov pun anjlok diterpa corona. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, akibat pandemi ini, pendapatan Pemprov DKI diprediksi turun hingga 53% terutama dari sektor pajak karena pelemahan ekonomi.
Pemprov DKI Jakarta pun harus putar otak menata ulang struktur APDD 2020. Awalnya APBD DKI 2020 telah ditetapkan sebesar Rp 87,95 triliun kini berubah menjadi hanya Rp 44,66 triliun. Terkait DBH tahun 2020 yang diterima Pemprov Jakarta juga bakal merosot, karena karena pendapatan pemerintah pusat turun serta adanya kebijakan untuk menangani covid-19.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 yang mengoreksi pendapatan, maka DBU untuk provinsi juga turun. Untuk DKI, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, turun dari Rp17 triliun menjadi Rp14 triliun. Astrea pun meminta agar jajaran Pemprov DKI menyesuaikan rancangan APBD 2020 serta 2021 berdasarkan pengurangan ini.
Untuk sisa kekuarangan DBH yang belum dibayar, akan dilunasi setelah ada angka resmi kekurangan yang perlu dibayarkan Pemerintah ke Pemda sesuai hasil audit BPK. Yustinus menegaskan, jangan terkesan Pemprov DKI seperti orang menagih utang jatuh tempo dan belum dibayar. DBH memang hak Pemprov, tapi ada aturan dan mekanismenya yang jelas, sehingga seolah pemerintah pusat itu mengemplang utang.
Sri Mulyani pun mengamini apayang disampaikan Yustinus. stafnya itu mengatakan, pemerintah pusat sudah menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil sebesar Rp 2,6 triliun kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun sisanya baru bisa dicairkan setelah audit BPK rampung “Sisanya kami akan segera, begitu kami sudah menyelesaikan laporan keuangan pemerintah pusat,” katanya.
Tak ingin dianggap sebagai penghalang pencairan DBH Provinsi Jakarta, Ketua BPK Agung Firman pun ikut bersuara. Menurutnya, tidak ada kaitan antara pemeriksaan BPK dengan pembayaran DBH. Menurutnya, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH. "Tidak ada hubungannya," tegas Agung.
Ketua BPK menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Tidak ada ketentuannya di Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.
Jadi, silahkan saja Kementerian Keuangan untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu. Tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan atau audit BPK.
Defisit APBD
Di saat pandemi seperti ini DBH memang amat dibutuhkan oleh Pemprov, pasalnya pendapatan Pemprov pun anjlok diterpa corona. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, akibat pandemi ini, pendapatan Pemprov DKI diprediksi turun hingga 53% terutama dari sektor pajak karena pelemahan ekonomi.
Pemprov DKI Jakarta pun harus putar otak menata ulang struktur APDD 2020. Awalnya APBD DKI 2020 telah ditetapkan sebesar Rp 87,95 triliun kini berubah menjadi hanya Rp 44,66 triliun. Terkait DBH tahun 2020 yang diterima Pemprov Jakarta juga bakal merosot, karena karena pendapatan pemerintah pusat turun serta adanya kebijakan untuk menangani covid-19.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 yang mengoreksi pendapatan, maka DBU untuk provinsi juga turun. Untuk DKI, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, turun dari Rp17 triliun menjadi Rp14 triliun. Astrea pun meminta agar jajaran Pemprov DKI menyesuaikan rancangan APBD 2020 serta 2021 berdasarkan pengurangan ini.
tulis komentar anda