Ini Alasan Anies Tagih Dana Bagi Hasil ke Kemenkeu yang Memicu Polemik

Rabu, 13 Mei 2020 - 15:53 WIB
loading...
Ini Alasan Anies Tagih...
Gubernur Jakarta Tagih Dana Bagi Hasil
A A A
JAKARTA - Buat Indonesia, kejadian pandemi seperti wabah virus corona memang baru pertama kali terjadi. Virus penyakit yang dapat menular antar manusia dengan cepat dan mematikan ini memang membuat kalang kabut semua pihak.

Sehingga harus diakui baik masyarakat maupun pemerintah tidak siap menghadapinya. Kordinasi yang kurang baik antar sesama pejabat pemerintahan malah menimbulkan kegaduhan tersendiri.
Seperti yang terjadi antara Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman. Ketiganya saling lempar-lemparan terkait pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Provinsi Jakarta.

Kisruh soal DBH ini bermula saat Menteri Keuangan mengomentari anggaran bantuan sosial (Bansos) untuk warga Jakarta yang terdampak akibat wabah virus Corona (Covid 19). Menurutnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta pemerintah pusat menanggung Bansos untuk 1,1 juta orang. Alasannya, menurut Menkeu, karena keterbatasan dana yang dimiliki Pemprov DKI.

Sri Mulyani menjelaskan, tadinya untuk tahap pertama pemberian Bansos di Jakarta sudah ada kesepakatan. Pemprov DKI menanggung Bansos untuk 1,1 juta orang dan sisanya 3,6 juta orang ditanggung pemerintah pusat. Nah untuk pemberian tahap kedua Bansos, Pemprov DKI Jakarta meminta semua di-cover pemerintah pusat."Laporan dari Menko PMK, ternyata DKI yang tadinya cover 1,1 juta, mereka tidak punya anggaran dan minta pemerintah pusat yang cover 1,1 juta itu," jelas Sri Mulyani saat rapat virtual bersama Komisi XI DPR, Rabu (6/5).

Seolah tak terima dikatakan tidak memiliki anggaran, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menagih pencairan DBH sebesar Rp 5,1 triliun kepada Kementerian Keuangan. Anies menyebutkan ada piutang Pemprov DKI di Kemenkeu yang harusnya disetorkan Kemenkeu pada 2019.

Mulanya, dana bagi hasil itu senilai Rp 6,4 triliun, namun mengalami penyesuaian menjadi Rp 5,1 triliun. Menurut, Anies dana tersebut sangat dibutuhkan Pemprov untuk digunakan sebagai penanganan wabah Covid-19. Dana DBH yang ditagih Anies merupakan DBH untuk tahun 2019.

Lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun menyampaikan data terkait DBH ini. untuk Provinsi Jakarta sebanyak Rp 2,6 triliun dari total DBH sudah disetorkan kepada Pemprov DKI Jakarta pada 6 Mei 2020.
Adapun yang belum dibayarkan akan disalurkan setelah audit BPK selesai lewat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Adapun, total DBH tersebut merupakan relaksasi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 36/OMK.07/2020 tentang Penetapan Alokasi Sementara Kurang Bayar DBH Tahun Anggaran 2020.

Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menjelaskan untuk mencairkan DBH ada tata caranya. Mekanismenya adalah pemerintah mencairkan 50% terlebih dahulu karena masih menunggu hasil Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mengikuti mekanismenya, maka DBH kurang bayar pemerintah ke daerah dibayarkan pada bulan Agustus atau September tahun berikutnya, setelah selesai audit LKPP oleh BPK.

Untuk sisa kekuarangan DBH yang belum dibayar, akan dilunasi setelah ada angka resmi kekurangan yang perlu dibayarkan Pemerintah ke Pemda sesuai hasil audit BPK. Yustinus menegaskan, jangan terkesan Pemprov DKI seperti orang menagih utang jatuh tempo dan belum dibayar. DBH memang hak Pemprov, tapi ada aturan dan mekanismenya yang jelas, sehingga seolah pemerintah pusat itu mengemplang utang.

Sri Mulyani pun mengamini apayang disampaikan Yustinus. stafnya itu mengatakan, pemerintah pusat sudah menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil sebesar Rp 2,6 triliun kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun sisanya baru bisa dicairkan setelah audit BPK rampung “Sisanya kami akan segera, begitu kami sudah menyelesaikan laporan keuangan pemerintah pusat,” katanya.

Tak ingin dianggap sebagai penghalang pencairan DBH Provinsi Jakarta, Ketua BPK Agung Firman pun ikut bersuara. Menurutnya, tidak ada kaitan antara pemeriksaan BPK dengan pembayaran DBH. Menurutnya, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk membayar DBH. "Tidak ada hubungannya," tegas Agung.

Ketua BPK menjelaskan, audit yang dilakukan oleh BPK terhadap laporan keuangan yang diserahkan Kemenkeu merupakan pemeriksaan. Sedangkan yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan pengelolaan uang negara. Tidak ada ketentuannya di Undang-Undang Dasar maupun UU terkait pemeriksaan/keuangan negara/perbendaharaan negara yang mengatur pembayaran kewajiban DBH menunggu hasil audit BPK.

Jadi, silahkan saja Kementerian Keuangan untuk membuat keputusan masalah bayar atau tidak bayar di tangan Kemenkeu. Tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan atau audit BPK.

Defisit APBD

Di saat pandemi seperti ini DBH memang amat dibutuhkan oleh Pemprov, pasalnya pendapatan Pemprov pun anjlok diterpa corona. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, akibat pandemi ini, pendapatan Pemprov DKI diprediksi turun hingga 53% terutama dari sektor pajak karena pelemahan ekonomi.

Pemprov DKI Jakarta pun harus putar otak menata ulang struktur APDD 2020. Awalnya APBD DKI 2020 telah ditetapkan sebesar Rp 87,95 triliun kini berubah menjadi hanya Rp 44,66 triliun. Terkait DBH tahun 2020 yang diterima Pemprov Jakarta juga bakal merosot, karena karena pendapatan pemerintah pusat turun serta adanya kebijakan untuk menangani covid-19.

Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 54 tahun 2020 yang mengoreksi pendapatan, maka DBU untuk provinsi juga turun. Untuk DKI, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, turun dari Rp17 triliun menjadi Rp14 triliun. Astrea pun meminta agar jajaran Pemprov DKI menyesuaikan rancangan APBD 2020 serta 2021 berdasarkan pengurangan ini.

Dari hasil rapat DPRD DKI dengan Pemprov DKI Jakarta pada 5 Mei 2020, disepakati Pemprov akan menghapus anggaran gaji ke-13 dan 14 untuk seluruh aparatur sipil negara (ASN). Tunjangan kinerja daerah (TKD) atau tunjangan penghasilan pegawai (TPP) para pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta juga akan dipangkas 50% mulai Mei 2020 ini. Sebagai catatan kebijakan ini masih harus digodok Pemprov DKI dan akan dituangkan ke dalam Peraturan Gubernur (Pergub).

Pengurangan lainnya dilakukan pada pos belanja barang dan jasa. Semula mencapai Rp 23,67 triliun dipotong menjadi Rp 11,22 triliun. Pengurangan ini akan berakibat diantaranya, memangkas subsidi untuk PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), PT Mass Rapid Transit (MRT), dan PT Lintas Rel Terpadu (LRT) sebesar 50%.

Artinya, subsidi untuk Transjakarta dari Rp 3,29 triliun menjadi Rp 1,97 triliun. Sedangkan subsidi MRT merosot dari Rp 825 miliar menjadi Rp 412,5 miliar. Lalu subsidi LRT menurun dari Rp 439,62 miliar menjadi Rp 219,81 miliar.

Untuk belanja modal Pemprov juga bakal dicukur dari Rp 16,08 triliun menjadi tinggal Rp 500 miliar. Sementara belanja lainnya semula dianggarkan Rp 28,89 triliun, berubah menjadi Rp 4,89 triliun.
DKI Jakarta sebenarnya memiliki APBD terbesar dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. PAD-nya pun selalu yang paling tinggi, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

Mengutip data dari Badan Pusat Statistik menyatakan, produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta dari sisi lapangan usaha pada 2019 mengandalkan tiga sektor. Perdagangan (17,14%), industri (12,21%), dan konstruksi (11,61%). Ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 berlalu membuat tiga sektor itu diprediksi melambat. Saat ini konsumsi pun melemah, karena banyak orang melakukan aktivitas di rumah. Hal tersebut menyebabkan APBD DKI Jakarta pun ikut babak belur.
(eko)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1098 seconds (0.1#10.140)