Terapkan Metode Co-firing Biomassa, PLTU Suralaya Dukung Pembangkit Energi Bersih
Kamis, 31 Desember 2020 - 02:33 WIB
JAKARTA - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menopang 12% hingga 14% sistem Jawa - Bali. Dengan transmisi sebesar 500 kV, pembangkit tersebut mengkonsumsi batu bara kurang lebih 35.000 ton yang dipasok dari enam perusahaan batubara, yaitu PT Adaro Indonesia, PT Artha Daya Coalindo, PT Berau Coal, PT Bukit Asam, PT Oktasan Baruna, dan PT PLN Batubara.
Wakil Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLTU Suralaya dinilai lebih kompetitif dibandingkan PLTU Independent Power Producer (IPP). Berdasarkan perhitungan internal Indonesia Power, Biaya Pokok Produksi (BPP) yang dihasilkan PLTU Suralaya lebih murah.
"Total Biaya Pokok Produksi (BPP) dari fixed dan variable cost unit hanya 1-7 sekitar Rp530,1/kWh. Sementara dari PLTU IPP rata-rata di atas Rp800/kWh," ujarnya dalam keterangan tertulis.
(Baca Juga: PLN Sebut 52 PLTU Berpotensi Campurkan Batu Bara dengan Biomassa )
Ke depannya, PLN akan menargetkan implementasi co-firing biomassa pada PLTU Suralaya sebagai bagian dari dukungan atas percepatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan . "Secara sustainability dari lingkungan hidup juga bagus, makanya beberapa kali mendapatkan proper emas," imbuh Darmawan.
Merespon hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai, dengan biaya yang efisien akan menciptakan industri yang kompetitif. "Salah satu komponen kompetitif itu energi. Makanya, PLN harus bisa bersaing tidak hanya sebatas penyedia energi tapi bisa sebagai pendukung industri," jelasnya.
Arifin menegaskan upaya PLN ini sebagai langkah positif dalam dunia pergaulan internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan CO2. Menurut dia, saat ini banyak negara-negara besar seperti China dan India yang dikenal sebagai pengguna batubara beralih ke EBT.
"Banyak negara-negara maju memindahkan dana pendanaan PLTU. Pemanfaatan batu bara ditutup. China yang relatif besar-besaran menggunakan batu bara mulai berubah," ungkapnya.
(Baca Juga: Butuh 8 Juta Ton Limbah Sampah Serbuk Gergaji Kayu untuk Maksimalkan PLTU )
Salah satu antisipasi yang dilakukan Kementerian ESDM, sambung Arifin, memasukkan EBT sebagai bagian dari bauran energi nasional dalam porsi besar. Perkembangan teknologi baru yang ada sekarang ini menunjukkan EBT terutama energi surya semakin kompetitif.
Kendati begitu, Arifin mengungkapkan penggunaan batu bara tidak serta merta hilang dari bauran energi nasional. "Batu bara adalah simpanan kita di saat energi fosil lain habis. Ke depannya batu bara tetap dipakai, hanya di mulut tambang. Jadi memang dalam proses perencanaan energi perlu melihat aspek yang lain," tandasnya.
Wakil Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, PLTU Suralaya dinilai lebih kompetitif dibandingkan PLTU Independent Power Producer (IPP). Berdasarkan perhitungan internal Indonesia Power, Biaya Pokok Produksi (BPP) yang dihasilkan PLTU Suralaya lebih murah.
"Total Biaya Pokok Produksi (BPP) dari fixed dan variable cost unit hanya 1-7 sekitar Rp530,1/kWh. Sementara dari PLTU IPP rata-rata di atas Rp800/kWh," ujarnya dalam keterangan tertulis.
(Baca Juga: PLN Sebut 52 PLTU Berpotensi Campurkan Batu Bara dengan Biomassa )
Ke depannya, PLN akan menargetkan implementasi co-firing biomassa pada PLTU Suralaya sebagai bagian dari dukungan atas percepatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan . "Secara sustainability dari lingkungan hidup juga bagus, makanya beberapa kali mendapatkan proper emas," imbuh Darmawan.
Merespon hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai, dengan biaya yang efisien akan menciptakan industri yang kompetitif. "Salah satu komponen kompetitif itu energi. Makanya, PLN harus bisa bersaing tidak hanya sebatas penyedia energi tapi bisa sebagai pendukung industri," jelasnya.
Arifin menegaskan upaya PLN ini sebagai langkah positif dalam dunia pergaulan internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan CO2. Menurut dia, saat ini banyak negara-negara besar seperti China dan India yang dikenal sebagai pengguna batubara beralih ke EBT.
"Banyak negara-negara maju memindahkan dana pendanaan PLTU. Pemanfaatan batu bara ditutup. China yang relatif besar-besaran menggunakan batu bara mulai berubah," ungkapnya.
(Baca Juga: Butuh 8 Juta Ton Limbah Sampah Serbuk Gergaji Kayu untuk Maksimalkan PLTU )
Salah satu antisipasi yang dilakukan Kementerian ESDM, sambung Arifin, memasukkan EBT sebagai bagian dari bauran energi nasional dalam porsi besar. Perkembangan teknologi baru yang ada sekarang ini menunjukkan EBT terutama energi surya semakin kompetitif.
Kendati begitu, Arifin mengungkapkan penggunaan batu bara tidak serta merta hilang dari bauran energi nasional. "Batu bara adalah simpanan kita di saat energi fosil lain habis. Ke depannya batu bara tetap dipakai, hanya di mulut tambang. Jadi memang dalam proses perencanaan energi perlu melihat aspek yang lain," tandasnya.
(akr)
tulis komentar anda