Masih Ada Peluang Indonesia Tak Bergantung pada Kedelai Impor
Selasa, 05 Januari 2021 - 22:33 WIB
JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencatat Indonesia merupakan konsumen kedelai terbesar setelah China . Pemerintah pun disarankan untuk terus menggenjot produktivitas dan kualitas kedelai dalam negeri.
Head of Research CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, petani kedelai nasional dihadapkan pada berbagai persoalan yang membuat kedelai produksi mereka tidak bisa terserap oleh pasar secara maksimal. "Kedelai nasional sulit terserap karena tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang berkualitas lebih baik dengan harga lebih murah," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (5/1/2020). ( Baca juga:Bareskrim Polri Telusuri Dugaan Penimbunan Kedelai )
Selain persoalan produktivitas, harga jual di tingkat petani juga dinilai berpengaruh besar terhadap pengembangan kedelai lokal. Tak jarang petani lebih memilih menanam komoditas lain.
Padahal, tingkat konsumsi kedelai nasional terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor kedelai Indonesia sepanjang semester I-2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai USD510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun.
Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Sementara itu kalau dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton di 2017, 2,58 juta ton di 2018, dan 2,67 juta ton di 2019.
Dia memaparkan, persoalan yang harus diatasi lebih dulu untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional adalah persoalan iklim. Karena kedelai adalah tanaman sub-tropis, sehingga pertumbuhan di daerah tropis seperti Indonesia menjadi tidak maksimal.
Untuk itu, usaha produksi kedelai di Indonesia harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam. Selain itu, kedelai jenis tanaman yang membutuhkan kelembaban tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal.
Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah menjadi jenuh air. Selain itu drainase yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai.
Permasalahan lahan yang terbatas juga perlu diperhatikan. Ia memaparkan, lahan yang cocok untuk ditanami kacang kedelai harus memiliki kadar pH yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter. Jenis lahan seperti ini tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.
“Tentu saja meningkatkan produktivitas bukanlah hal mudah, oleh karena diperlukan pembinaan dan pendampingan bagi petani kedelai, serta investasi. Dengan pembinaan yang intensif maka produktivitas yang lebih tinggi meningkat," ujarnya. ( Baca juga:Besok Iring-iringan Warga Grand Wisata Akan Penuhi PN Cikarang )
Felippa pun menuturkan, pembinaan dapat dilakukan, antara lain dengan penggunaan benih, pupuk dan sarana produksi lain yang tepat. Pembinaan juga dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah penggunaan lahan yang hanya diperuntukkan untuk kedelai. Hal ini dikarenakan usaha produksi kedelai di Indonesia dilakukan pada musim tanam yang tidak selalu ideal untuk pertumbuhan tanaman, karena harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam.
Head of Research CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan, petani kedelai nasional dihadapkan pada berbagai persoalan yang membuat kedelai produksi mereka tidak bisa terserap oleh pasar secara maksimal. "Kedelai nasional sulit terserap karena tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang berkualitas lebih baik dengan harga lebih murah," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (5/1/2020). ( Baca juga:Bareskrim Polri Telusuri Dugaan Penimbunan Kedelai )
Selain persoalan produktivitas, harga jual di tingkat petani juga dinilai berpengaruh besar terhadap pengembangan kedelai lokal. Tak jarang petani lebih memilih menanam komoditas lain.
Padahal, tingkat konsumsi kedelai nasional terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor kedelai Indonesia sepanjang semester I-2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai USD510,2 juta atau sekitar Rp7,52 triliun.
Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Sementara itu kalau dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton di 2017, 2,58 juta ton di 2018, dan 2,67 juta ton di 2019.
Dia memaparkan, persoalan yang harus diatasi lebih dulu untuk meningkatkan produktivitas kedelai nasional adalah persoalan iklim. Karena kedelai adalah tanaman sub-tropis, sehingga pertumbuhan di daerah tropis seperti Indonesia menjadi tidak maksimal.
Untuk itu, usaha produksi kedelai di Indonesia harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam. Selain itu, kedelai jenis tanaman yang membutuhkan kelembaban tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal.
Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah menjadi jenuh air. Selain itu drainase yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai.
Permasalahan lahan yang terbatas juga perlu diperhatikan. Ia memaparkan, lahan yang cocok untuk ditanami kacang kedelai harus memiliki kadar pH yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter. Jenis lahan seperti ini tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.
“Tentu saja meningkatkan produktivitas bukanlah hal mudah, oleh karena diperlukan pembinaan dan pendampingan bagi petani kedelai, serta investasi. Dengan pembinaan yang intensif maka produktivitas yang lebih tinggi meningkat," ujarnya. ( Baca juga:Besok Iring-iringan Warga Grand Wisata Akan Penuhi PN Cikarang )
Felippa pun menuturkan, pembinaan dapat dilakukan, antara lain dengan penggunaan benih, pupuk dan sarana produksi lain yang tepat. Pembinaan juga dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah penggunaan lahan yang hanya diperuntukkan untuk kedelai. Hal ini dikarenakan usaha produksi kedelai di Indonesia dilakukan pada musim tanam yang tidak selalu ideal untuk pertumbuhan tanaman, karena harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam.
(uka)
tulis komentar anda