Sertifikat Tanah Elektronik Belum Dibutuhkan Masyarakat, Ini Alasannya
Rabu, 03 Februari 2021 - 14:09 WIB
JAKARTA - Sertifikat tanah kini berbentuk elektronik, tidak lagi berbentuk fisik kertas. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang sertifikat Elektronik sebagai dasar pemberlakuan sertifikat elektronik.
Menurut Ketua Dewan Nasional Pembaharuan Agraria, Iwan Nurdin, dari sisi prioritas hal ini tentu belum dibutuhkan, sebab pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan.
"Seharusnya konsentrasi dana APBN diarahkan ke pendaftaran seluruh tanah baik tanah kawasan hutan, non kawasan hutan, sehingga terangkum data basis pertanahan yang lengkap baik sebagai dasar perencanaan pembangunan maupun sebagai basis reforma agraria khususnya land reform," ujar dia kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (3/2/2021).
( )
Kemudian, kata dia, dari sisi proses, yakni tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik lalu divalidasi dan disimpan dalam file elektronik dan bisa diprint di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.
"Bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN. Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut sebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan. Padahal sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung," ungkap dia.
Dari sisi hukum, rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus dengan demikian, hal lainnya yakni sertifikat elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik adalah pelengkap dan memudahkan data base tanah.
(
)
Dari sisi keamanan, Iwan mempertanyakan bagaimana jika sistem IT yang dikelola BPN tidak benar-benar aman, sehingga ada potensi kehilangan data-data rakyat pemilik tanah.
"Sebagai Permen ini juga melanggar aturan yang lebih tinggi yakni PP Pendaftaran Tanah 24/1997, PP 40/1996 tentang HGU, HGB dan hak pakai serta UU NO 5 1960 UU PA," tandas dia.
Menurut Ketua Dewan Nasional Pembaharuan Agraria, Iwan Nurdin, dari sisi prioritas hal ini tentu belum dibutuhkan, sebab pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan.
"Seharusnya konsentrasi dana APBN diarahkan ke pendaftaran seluruh tanah baik tanah kawasan hutan, non kawasan hutan, sehingga terangkum data basis pertanahan yang lengkap baik sebagai dasar perencanaan pembangunan maupun sebagai basis reforma agraria khususnya land reform," ujar dia kepada MNC Portal Indonesia, Rabu (3/2/2021).
( )
Kemudian, kata dia, dari sisi proses, yakni tanah pemerintah dan kemudian badan usaha yang akan ditarik lalu divalidasi dan disimpan dalam file elektronik dan bisa diprint di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.
"Bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN. Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut sebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan. Padahal sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung," ungkap dia.
Dari sisi hukum, rakyat berhak menyimpan sertifikat asli yang telah diterbitkan. Hak ini tidak boleh hapus dengan demikian, hal lainnya yakni sertifikat elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik adalah pelengkap dan memudahkan data base tanah.
(
Baca Juga
Dari sisi keamanan, Iwan mempertanyakan bagaimana jika sistem IT yang dikelola BPN tidak benar-benar aman, sehingga ada potensi kehilangan data-data rakyat pemilik tanah.
"Sebagai Permen ini juga melanggar aturan yang lebih tinggi yakni PP Pendaftaran Tanah 24/1997, PP 40/1996 tentang HGU, HGB dan hak pakai serta UU NO 5 1960 UU PA," tandas dia.
(ind)
tulis komentar anda