Ini Biang Kerok Pengembangan Panas Bumi Akan Begini-begini Aja
Senin, 01 Maret 2021 - 14:16 WIB
JAKARTA - Pengembangan panas bumi di dalam negeri masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya yang paling utama adalah terkait disparitas harga proyek panas bumi dan tarif listrik untuk masyarakat.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Priyandaru Effendi mengatakan, masalah utama dalam pengembangan panas bumi adalah masalah harga dengan disparitas harga. Menurut dia, perlu harga yang berkeadilan bagi investor sesuai dengan keekonomian proyek dan juga PLN sebagai pembeli energi panas bumi.
"Jadi pembeli panas bumi hanya PLN yang mana perusahaan menjual listriknya ke masyarakat dan harganya tidak boleh di atas pemerintah sehingga PLN punya keterbatasan. Sementara dari developer itu juga punya harga keekonomian yang tentu saja kita mengharapkan harga yang kita jual sesuai dengan keekonomian proyek kita," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (1/3/2021).
Priyandaru menuturkan, industri panas bumi hampir sama dengan industri minyak dan gas (migas) di mana harus melakukan eksplorasi di depan sehingga memiliki risiko yang tinggi. Namun bedanya, industri migas pembelinya banyak dan harganya diatur oleh pasar.
"Sementara panas bumi di-drive oleh satu, yaitu PLN dan harganya diatur oleh pemerintah. Jadi kami harus melakukan optimisasi di segala hal agar harga bisa kompetitif," tuturnya.
Menurut dia, pemerintah harus hadir untuk menjembatani dan mencari solusi terkait disparitas harga ini. Pasalnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia tidak hanya menjadi strategi dalam mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, tetapi juga mendorong terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi di dalam negeri.
"Kita sudah punya sumber daya yang cukup besar dan energi yang sangat andal. Kalau tidak ada terobosan yang luar biasa kita akan begini terus," jelasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, selain masalah disparitas harga, kebanyakan dari energi panas bumi berada di dalam hutan lindung. Untuk itu, perlu pemahaman dari masyarakat terkait pengembangan energi panas bumi ini.
"Seperti gagasan mengembangkan panas bumi di Bali yang tidak kunjung terealisasi karena berbenturan dengan budaya di sana. Ini jadi keunikan panas bumi di Indonesia yang harus kita selesaikan sehingga masyarakat bisa mengetahui secara pasti bahwa panas bumi tidak merusak lingkungan," tandasnya.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Priyandaru Effendi mengatakan, masalah utama dalam pengembangan panas bumi adalah masalah harga dengan disparitas harga. Menurut dia, perlu harga yang berkeadilan bagi investor sesuai dengan keekonomian proyek dan juga PLN sebagai pembeli energi panas bumi.
"Jadi pembeli panas bumi hanya PLN yang mana perusahaan menjual listriknya ke masyarakat dan harganya tidak boleh di atas pemerintah sehingga PLN punya keterbatasan. Sementara dari developer itu juga punya harga keekonomian yang tentu saja kita mengharapkan harga yang kita jual sesuai dengan keekonomian proyek kita," ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (1/3/2021).
Priyandaru menuturkan, industri panas bumi hampir sama dengan industri minyak dan gas (migas) di mana harus melakukan eksplorasi di depan sehingga memiliki risiko yang tinggi. Namun bedanya, industri migas pembelinya banyak dan harganya diatur oleh pasar.
"Sementara panas bumi di-drive oleh satu, yaitu PLN dan harganya diatur oleh pemerintah. Jadi kami harus melakukan optimisasi di segala hal agar harga bisa kompetitif," tuturnya.
Menurut dia, pemerintah harus hadir untuk menjembatani dan mencari solusi terkait disparitas harga ini. Pasalnya, pemanfaatan panas bumi di Indonesia tidak hanya menjadi strategi dalam mengejar target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, tetapi juga mendorong terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi di dalam negeri.
"Kita sudah punya sumber daya yang cukup besar dan energi yang sangat andal. Kalau tidak ada terobosan yang luar biasa kita akan begini terus," jelasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, selain masalah disparitas harga, kebanyakan dari energi panas bumi berada di dalam hutan lindung. Untuk itu, perlu pemahaman dari masyarakat terkait pengembangan energi panas bumi ini.
"Seperti gagasan mengembangkan panas bumi di Bali yang tidak kunjung terealisasi karena berbenturan dengan budaya di sana. Ini jadi keunikan panas bumi di Indonesia yang harus kita selesaikan sehingga masyarakat bisa mengetahui secara pasti bahwa panas bumi tidak merusak lingkungan," tandasnya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda