Kebijakan Insentif PPN untuk Properti Dinilai Setengah Hati
Selasa, 02 Maret 2021 - 00:08 WIB
JAKARTA - CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda berharap pemerintah tidak membatasi pemberian insentif pajak pertambahan nilai (PPN) hanya untuk rumah yang ready stock atau siap huni. Pasalnya, kebijakan itu tidak mengangkat potensi daya beli masyarakat lain yang ingin membeli properti secara inden.
“Pemerintah diharapkan dapat lebih memahami kondisi di lapangan, dan tidak dibatasi aturan harus terbangun sampai 31 Agustus 2021. Dikhawatirkan menjadikan aturan ini tidak akan berjalan lancar ke depan dan hanya dinikmati oleh pengembang yang memiliki banyak rumah stock. Di sisi lain penjualan properti inden pasti malah akan tertahan,” jelas Ali dalam keterangan persnya, Senin (1/3/2021).
Ia menjelaskan, meskipun pasar menyambut baik kebijakan penghapusan PPN, namun aturan relaksasi ini hanya berlaku untuk rumah yang terbangun siap huni sampai batas waktu 31 Agustus 2021. ( Baca juga:Diskon PPN Bagi Rumah Baru, Menteri Basuki: Ini untuk Bantu Masyarakat )
"Artinya bahwa rumah harus ready stock atau diupayakan terbangun sampai periode berakhir," terangnya.
Ia menambahkan, pembangunan rumah mungkin dapat dilakukan selama enam bulan, artinya bila ada unit yang terjual pada bulan Maret, maka pengembang akan segera membangun sampai selesai pada bulan Agustus.
"Namun bagaiman bila penjualan terjadi pada bulan Mei atau setelah itu? Artinya pengembang tidak akan sanggup membangun dalam periode yang sempit. Dan pengembang tidak akan mengambil risiko membangun banyak unit dalam kondisi saat ini sebelum ada pembeli," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa aturan rumah siap huni ini agar stok rumah akan menurun atau permintaan meningkat sehingga memacu kembali rumah baru lagi. Kemudian menghindari jangan sampai seolah-olah pemerintah hanya memihak kelompok menengah, karena penghapusan PPN pun sudah berlaku untuk rumah subsidi FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan).
Lebih lanjut Ali menjelaskan bahwa hal ini tentunya berbeda dengan aturan penghapusan rumah FLPP karena tidak dibatasi periode enam bulan. Meskipun dampaknya luar biasa, namun tentunya hanya sebagian pengembang yang memiliki rumah stock yang diuntungkan.
"Jangan sampai memberikan kesan bahwa pemerintah memberi kebijakan setengah hati dan tidak akan berdampak luar biasa. Bila fokus pemerintah hanya untuk menghabiskan stok rumah, ini rasanya kurang tepat," kata Ali. ( Baca juga:Duterte: Kesepakatan Berakhir Jika AS 'Buang' Nuklir ke Filipina )
Menurutnya yang difokuskan pemerintah adalah potensi daya beli yang besar di masyarakat menengah untuk membeli rumah baru dan tidak dibatasi hanya untuk rumah ready stock.
“Kebijakan yang harusnya luar biasa ini menjadi kontra produktif karena ada aturan ready stock. Fokus pemerintah harusnya memperbesar pasar, bukan hanya untuk menghabiskan stok rumah. Paling tidak ada patokan standar progres bangunan sampai batas akhir periode relaksasi, dan tidak harus ready stock,” tutupnya.
“Pemerintah diharapkan dapat lebih memahami kondisi di lapangan, dan tidak dibatasi aturan harus terbangun sampai 31 Agustus 2021. Dikhawatirkan menjadikan aturan ini tidak akan berjalan lancar ke depan dan hanya dinikmati oleh pengembang yang memiliki banyak rumah stock. Di sisi lain penjualan properti inden pasti malah akan tertahan,” jelas Ali dalam keterangan persnya, Senin (1/3/2021).
Ia menjelaskan, meskipun pasar menyambut baik kebijakan penghapusan PPN, namun aturan relaksasi ini hanya berlaku untuk rumah yang terbangun siap huni sampai batas waktu 31 Agustus 2021. ( Baca juga:Diskon PPN Bagi Rumah Baru, Menteri Basuki: Ini untuk Bantu Masyarakat )
"Artinya bahwa rumah harus ready stock atau diupayakan terbangun sampai periode berakhir," terangnya.
Ia menambahkan, pembangunan rumah mungkin dapat dilakukan selama enam bulan, artinya bila ada unit yang terjual pada bulan Maret, maka pengembang akan segera membangun sampai selesai pada bulan Agustus.
"Namun bagaiman bila penjualan terjadi pada bulan Mei atau setelah itu? Artinya pengembang tidak akan sanggup membangun dalam periode yang sempit. Dan pengembang tidak akan mengambil risiko membangun banyak unit dalam kondisi saat ini sebelum ada pembeli," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa aturan rumah siap huni ini agar stok rumah akan menurun atau permintaan meningkat sehingga memacu kembali rumah baru lagi. Kemudian menghindari jangan sampai seolah-olah pemerintah hanya memihak kelompok menengah, karena penghapusan PPN pun sudah berlaku untuk rumah subsidi FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan).
Lebih lanjut Ali menjelaskan bahwa hal ini tentunya berbeda dengan aturan penghapusan rumah FLPP karena tidak dibatasi periode enam bulan. Meskipun dampaknya luar biasa, namun tentunya hanya sebagian pengembang yang memiliki rumah stock yang diuntungkan.
"Jangan sampai memberikan kesan bahwa pemerintah memberi kebijakan setengah hati dan tidak akan berdampak luar biasa. Bila fokus pemerintah hanya untuk menghabiskan stok rumah, ini rasanya kurang tepat," kata Ali. ( Baca juga:Duterte: Kesepakatan Berakhir Jika AS 'Buang' Nuklir ke Filipina )
Menurutnya yang difokuskan pemerintah adalah potensi daya beli yang besar di masyarakat menengah untuk membeli rumah baru dan tidak dibatasi hanya untuk rumah ready stock.
“Kebijakan yang harusnya luar biasa ini menjadi kontra produktif karena ada aturan ready stock. Fokus pemerintah harusnya memperbesar pasar, bukan hanya untuk menghabiskan stok rumah. Paling tidak ada patokan standar progres bangunan sampai batas akhir periode relaksasi, dan tidak harus ready stock,” tutupnya.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda