RI Bergantung pada LPG Impor, Pertamina: DME Bisa Jadi Alternatif
Selasa, 09 Maret 2021 - 15:20 WIB
JAKARTA - Ketergantungan energi rumah tangga Indonesia terhadap impor, khususnya LPG diakui masih sangat tinggi, dimana dari total konsumsi sebesar 8 juta MT per tahun, hanya 1,8 juta MT yang berasal dari dalam negeri. Artinya, sebanyak 77% hingga 80% LPG harus dipenuhi melalui impor.
Sebanyak 95% dari impor LPG tersebut tercatat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial and Trading Pertamina Hasto Wibowo mengatakan, saat ini belum ada energi alternatif yang secara signifikan dapat menggantikan LPG untuk rumah tangga tersebut.
Karena itu, lanjut dia, rencana hilirisasi/gasifikasi batu bara untuk memproduksi dimethyl ether (DME) sebanyak 5,2 juta MT per tahun pada 2025 diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketergantungan tersebut. Karakteristik DME memiliki kesamaan, baik sifat kimia maupun fisika dengan LPG.
"Melalui hilirisasi batu bara, kalau kita semua serius ke depan diharapkan semakin progresif, dan impor LPG akan mulai turun," kata Hasto dalam webinar bertajuk "Mengukur Nilai Keekonomian Hilirisasi Batubara dan Perubahan Tren ke Energi Bersih" di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Menurut Hasto, potensi sumber daya batu bara Indonesia yang dapat diolah menjadi DME mencapai 14 miliar MT. Saat ini tengah dikembangkan fasilitas produksi DME di Sumatera Selatan oleh Air Product yang dilahan milik PT Bukit Asam Tbk dengan kapasitas 1,4 juta MT per tahun atau 1,07 juta MT setara LPG.
Namun, Hasto mengakui, implementasi DME ini tergantung pada harga produk tersebut nantinya. Harga DME tidak bisa lepas dari harga LPG yang dikonsumsi masyarakat luas.
"Maka harga DME tidak boleh lebih mahal dari LPG, kalau lebih mahal maka skema harga subsidi masih diberikan, dan pemerintah harus memberikan subsidi lebih besar," katanya.
Karena itu, Hasto menjelaskan, harga DME nantinya harus berada dalam rentang tertentu dimana batas atasnya tidak boleh melebihi harga LPG, dan batas bawahnya tetap memberikan keuntungan bagi investor. Terlepas dari persoalan harga, Hasto menegaskan bahwa pengembangan DME tetap penting karena banyak nilai tambah lain yang akan didapatkan.
Hasto mengatakan, agar rencana pengembangan DME bisa dieksekusi Pertamina membutuhkan dukungan pemerintah untuk kebijakan diversifikasi energi rumah, dukungan penugasan dari pemerintah kepada Pertamina selama nilai keekonomian infrastruktur DME oleh mitra untuk keberlangsungan bisnis hilir Pertamina dan hulu produsen DME, dukungan kebijakan subsidi yang tepat untuk LPG dan DME. Selain itu, konsep harga beli offtaker DME.
"Terakhir adalah terkait pengaturan kuota impor untuk menghindari kanibalisasi DME lokal oleh kargo LPG impor. Untuk wilayah yang menjadi demand center DME perlu diregulasi agar tidak ada suplai dan infrastruktur LPG yang dapat mengancam pasar DME,” tuturnya.
Sebanyak 95% dari impor LPG tersebut tercatat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial and Trading Pertamina Hasto Wibowo mengatakan, saat ini belum ada energi alternatif yang secara signifikan dapat menggantikan LPG untuk rumah tangga tersebut.
Karena itu, lanjut dia, rencana hilirisasi/gasifikasi batu bara untuk memproduksi dimethyl ether (DME) sebanyak 5,2 juta MT per tahun pada 2025 diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketergantungan tersebut. Karakteristik DME memiliki kesamaan, baik sifat kimia maupun fisika dengan LPG.
"Melalui hilirisasi batu bara, kalau kita semua serius ke depan diharapkan semakin progresif, dan impor LPG akan mulai turun," kata Hasto dalam webinar bertajuk "Mengukur Nilai Keekonomian Hilirisasi Batubara dan Perubahan Tren ke Energi Bersih" di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Menurut Hasto, potensi sumber daya batu bara Indonesia yang dapat diolah menjadi DME mencapai 14 miliar MT. Saat ini tengah dikembangkan fasilitas produksi DME di Sumatera Selatan oleh Air Product yang dilahan milik PT Bukit Asam Tbk dengan kapasitas 1,4 juta MT per tahun atau 1,07 juta MT setara LPG.
Namun, Hasto mengakui, implementasi DME ini tergantung pada harga produk tersebut nantinya. Harga DME tidak bisa lepas dari harga LPG yang dikonsumsi masyarakat luas.
"Maka harga DME tidak boleh lebih mahal dari LPG, kalau lebih mahal maka skema harga subsidi masih diberikan, dan pemerintah harus memberikan subsidi lebih besar," katanya.
Baca Juga
Karena itu, Hasto menjelaskan, harga DME nantinya harus berada dalam rentang tertentu dimana batas atasnya tidak boleh melebihi harga LPG, dan batas bawahnya tetap memberikan keuntungan bagi investor. Terlepas dari persoalan harga, Hasto menegaskan bahwa pengembangan DME tetap penting karena banyak nilai tambah lain yang akan didapatkan.
Hasto mengatakan, agar rencana pengembangan DME bisa dieksekusi Pertamina membutuhkan dukungan pemerintah untuk kebijakan diversifikasi energi rumah, dukungan penugasan dari pemerintah kepada Pertamina selama nilai keekonomian infrastruktur DME oleh mitra untuk keberlangsungan bisnis hilir Pertamina dan hulu produsen DME, dukungan kebijakan subsidi yang tepat untuk LPG dan DME. Selain itu, konsep harga beli offtaker DME.
"Terakhir adalah terkait pengaturan kuota impor untuk menghindari kanibalisasi DME lokal oleh kargo LPG impor. Untuk wilayah yang menjadi demand center DME perlu diregulasi agar tidak ada suplai dan infrastruktur LPG yang dapat mengancam pasar DME,” tuturnya.
(fai)
tulis komentar anda