Endus Pelanggaran Persaingan Usaha di E-Commerce, KPPU Singgung Predatory Pricing
Selasa, 23 Maret 2021 - 13:21 WIB
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ) menyebutkan, terdapat potensi pelanggaran persaingan usaha dalam ekosistem e-commerce. Selain predatory pricing yang dapat disalahgunakan dan berpotensi melanggar Undang-Undang persaingan usaha, KPPU juga melihat ada pelanggaran lain berupa integrasi vertikal dan penguasaan dominan.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengungkapkan, belum ada tanggapan temuan tindakan hukum soal predatory pricing terkait e-commerce .
“Jadi KPPU itu penegak hukum berangkat dengan semangat bukti dan proses dari kami memang penemuan indikasi, bawa alat bukti, masuk persidangan, dan akhirnya putusan. Yang kedua terkait predatory pricing memang kemarin sempat disebutkan oleh Kementerian Perdagangan, hanya saja bagi kami di KPPU tentunya orientasi kami ada di alat bukti,” ungkapnya dalam acara Market Review IDX Channel, Selasa (23/3/2021).
Guntur menjelaskan, predatory pricing dalam terminologi persaingan usaha terdapat di pasal 20 tentang upaya untuk menetapkan harga yang begitu rendah untuk mengeluarkan pesaing dari pasar.
“Jadi harga rendah saja, harga murah saja, itu belum langsung norma pelanggaran di pasal 20 karena kita ketahui juga harga rendah itu bisa juga sebagai suatu alternatif bagi perusahaan dalam strategi pricing. Bisa saja dia melakukan screening price, bisa saja untuk menjual idle capacity. Jadi, perlu saya jelaskan harga rendah saja itu tidak serta-merta masuk dalam norma pasal 20 predatory pricing di UU 5 1999,” jelas dia.
Lanjut dia, harus diingat bahwa predatory pricing secara praktik bisnis itu bisa efektif jika barang yang dijual itu tidak memungkinkan terjadinya reseller.
“Jadi kalau itu bisa dijual kembali di pasar pada dasarnya strategi predatory pricing itu tidak efektif. Karena pada dasarnya nanti konsumennya tetap mendapatkan harga yang biasa, karena ada reseller yang merusak strategi predatory pricing,” ujar Guntur.
Sementara itu, kata dia, KPPU ingin menekankan bahwa melihat pelanggaran persaingan tidak bisa dipersempit hanya urusan predatory pricing.
“Tentunya dalam praktik bisnis memberikan kemungkinan semua terhadap pelanggaran norma UU 5. Bisa saja vertical integration, bisa jadi diskriminasi, bisa juga kartel di dalamnya, bisa juga ada persengkokolan kalau itu dalam tender namun kalau untuk e-commerce tidak ada untuk tendernya,” ucap Guntur.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengungkapkan, belum ada tanggapan temuan tindakan hukum soal predatory pricing terkait e-commerce .
“Jadi KPPU itu penegak hukum berangkat dengan semangat bukti dan proses dari kami memang penemuan indikasi, bawa alat bukti, masuk persidangan, dan akhirnya putusan. Yang kedua terkait predatory pricing memang kemarin sempat disebutkan oleh Kementerian Perdagangan, hanya saja bagi kami di KPPU tentunya orientasi kami ada di alat bukti,” ungkapnya dalam acara Market Review IDX Channel, Selasa (23/3/2021).
Baca Juga
Guntur menjelaskan, predatory pricing dalam terminologi persaingan usaha terdapat di pasal 20 tentang upaya untuk menetapkan harga yang begitu rendah untuk mengeluarkan pesaing dari pasar.
“Jadi harga rendah saja, harga murah saja, itu belum langsung norma pelanggaran di pasal 20 karena kita ketahui juga harga rendah itu bisa juga sebagai suatu alternatif bagi perusahaan dalam strategi pricing. Bisa saja dia melakukan screening price, bisa saja untuk menjual idle capacity. Jadi, perlu saya jelaskan harga rendah saja itu tidak serta-merta masuk dalam norma pasal 20 predatory pricing di UU 5 1999,” jelas dia.
Lanjut dia, harus diingat bahwa predatory pricing secara praktik bisnis itu bisa efektif jika barang yang dijual itu tidak memungkinkan terjadinya reseller.
“Jadi kalau itu bisa dijual kembali di pasar pada dasarnya strategi predatory pricing itu tidak efektif. Karena pada dasarnya nanti konsumennya tetap mendapatkan harga yang biasa, karena ada reseller yang merusak strategi predatory pricing,” ujar Guntur.
Sementara itu, kata dia, KPPU ingin menekankan bahwa melihat pelanggaran persaingan tidak bisa dipersempit hanya urusan predatory pricing.
“Tentunya dalam praktik bisnis memberikan kemungkinan semua terhadap pelanggaran norma UU 5. Bisa saja vertical integration, bisa jadi diskriminasi, bisa juga kartel di dalamnya, bisa juga ada persengkokolan kalau itu dalam tender namun kalau untuk e-commerce tidak ada untuk tendernya,” ucap Guntur.
(akr)
tulis komentar anda