Harga Jadi Kendala Lambannya Target Bauran Energi
Rabu, 14 April 2021 - 15:05 WIB
JAKARTA - Indonesia menargetkan capaian bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang. Akan tetapi, hingga tahun 2020 realisasi bauran EBT hanya sebesar 11,51%.
Diketahui, capaian tersebut masih berada di bawah target semula yang dipatok pada kisaran angka 13,4% pada tahun 2020. ( Baca juga: Tingkatkan Efisiensi Listrik, ITS Kombinasikan EBT untuk Daerah Terpencil )
Menanggapi pencapaian itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengungkapkan, harga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan EBT. Ia mengatakan, sejauh ini paradigma bahwa EBT lebih mahal dibandingkan energi fosil masih terus berjalan.
“Memang realitanya sejauh ini energi fosil masih jauh lebih murah jika dibandingkan dengan EBT. Contohnya misal pada batu bara. Untuk batu bara sejauh ini adalah energi primer paling murah bagi sumber energi kita. Ini jauh jika dibandingkan menggunakan misal solar panel ataupun tenaga angin,” katanya dalam acara Market Review IDX Channel, Rabu (14/4/2021).
Oleh sebab itu, menurutnya perlu ada insentif harga untuk EBT ini. Sehingga, diharapkan nantinya perkembangan dari EBT bisa lebih meningkat.
“Sebagai contoh, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan Perpres (peraturan presiden) untuk harga solar panel. Ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong penggunaan solar panel di rumah tangga maupun di perkantoran. Sehingga ada peningkatan terkait dengan penggunaan EBT,” ujar Mamit.
Lanjut dia, pengembangan panas bumi yang belum maksimal juga menjadi kendala dalam pengembangan EBT. Mamit menerangkan, ini adalah salah satu potensi yang belum dimanfaatkan, sementara Indonesia mempunyai panas bumi yang sangat besar. ( Baca juga; Sikap Organda atas Kebijakan Larangan Mudik: Memahami, tapi Ngarep Dibatalkan )
“Saya kira perlu duduk kembali bersama antara kementerian, terutama antara Pertamina dan PLN dalam rangka pengembangan panas bumi. Karena sayang sekali potensi yang cukup besar ini kalau tidak dimanfaatkan secara maksimal. Padahal ini salah satu cara tercepat untuk kita bisa mengejar bauran energi tersebut,” ucap Direktur Eksekutif Energy Watch tersebut.
Diketahui, capaian tersebut masih berada di bawah target semula yang dipatok pada kisaran angka 13,4% pada tahun 2020. ( Baca juga: Tingkatkan Efisiensi Listrik, ITS Kombinasikan EBT untuk Daerah Terpencil )
Menanggapi pencapaian itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengungkapkan, harga menjadi salah satu kendala dalam pengembangan EBT. Ia mengatakan, sejauh ini paradigma bahwa EBT lebih mahal dibandingkan energi fosil masih terus berjalan.
“Memang realitanya sejauh ini energi fosil masih jauh lebih murah jika dibandingkan dengan EBT. Contohnya misal pada batu bara. Untuk batu bara sejauh ini adalah energi primer paling murah bagi sumber energi kita. Ini jauh jika dibandingkan menggunakan misal solar panel ataupun tenaga angin,” katanya dalam acara Market Review IDX Channel, Rabu (14/4/2021).
Oleh sebab itu, menurutnya perlu ada insentif harga untuk EBT ini. Sehingga, diharapkan nantinya perkembangan dari EBT bisa lebih meningkat.
“Sebagai contoh, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan Perpres (peraturan presiden) untuk harga solar panel. Ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong penggunaan solar panel di rumah tangga maupun di perkantoran. Sehingga ada peningkatan terkait dengan penggunaan EBT,” ujar Mamit.
Lanjut dia, pengembangan panas bumi yang belum maksimal juga menjadi kendala dalam pengembangan EBT. Mamit menerangkan, ini adalah salah satu potensi yang belum dimanfaatkan, sementara Indonesia mempunyai panas bumi yang sangat besar. ( Baca juga; Sikap Organda atas Kebijakan Larangan Mudik: Memahami, tapi Ngarep Dibatalkan )
“Saya kira perlu duduk kembali bersama antara kementerian, terutama antara Pertamina dan PLN dalam rangka pengembangan panas bumi. Karena sayang sekali potensi yang cukup besar ini kalau tidak dimanfaatkan secara maksimal. Padahal ini salah satu cara tercepat untuk kita bisa mengejar bauran energi tersebut,” ucap Direktur Eksekutif Energy Watch tersebut.
(uka)
tulis komentar anda