Kartu Prakerja, Antara Menambah Skill Atau Mengincar Dana Tunai?
Jum'at, 22 Mei 2020 - 07:23 WIB
JAKARTA - Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja, yang dilanjutkan dengan peraturan turunannya, Permenko Bidang Perekonomian No. 3 tahun 2020 tanggal 27 Maret 2020, memberi angin segar tentang komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendesain jalan tengah menjawab problem pengangguran, korban PHK dan angkatan kerja lainnya agar mempunyai kesempatan bekerja atau berwirausaha.
Perpres ini bentuk konsistensi pemerintah tentang gagasan pokok yang diusung Jokowi di periode kepemimpinan keduanya, tentang peningkatan kualitas SDM (4 program pokok lainnya adalah: keberlanjutan infrastruktur, deregulasi, debirokratisasi dan transformasi ekonomi).
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani menyampaikan, hal ini bisa mengurai problem klasik pendidikan di Indonesia, mismatching dunia pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri, yang menjadi penyebab utama munculnya kaum intellectual proletar.
"Masalahnya kemudian muncul dalam pelaksanaan teknis. Yang digandeng oleh Tim Project Management Officer (PMO) adalah justru platform digital yang menyediakan pelatihan-pelatihan online, yang kemudian menjadi polemik," ujar Ajib di Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Lanjut Ajib, seharusnya yang digandeng oleh Tim PMO adalah penyerap tenaga kerjanya, untuk dijadikan standar monitoring evaluasi seberapa efektif program ini bermanfaat buat masyarakat.
Berapa banyak yang selanjutnya bisa diserap sebagai tenaga kerja. Seberapa banyak yang setelah ketrampilannya bertambah selanjutnya bisa menjadi rekanan swasta, dan lain-lain. Sedangkan untuk pelatihan, apakah online atau offline, dan penerima program mengambil program dimana, itu hanya masalah teknis
"Apalagi, sekarang muncul platform digital "Prakerja.org" yang menjadi kanal gratis buat orang yang mau meningkatkan skill sebagai pembanding platform digital berbayar, dan relatif mahal, yang digandeng oleh pemerintah. Ini adalah sebuah "tamparan keras" dari para pegiat sosial kepada pemerintah," ungkap Ajib.
Dengan anggaran sebesar Rp20 triliun, yang diantaranya Rp5,6 triliun untuk "sekadar" pelatihan, maka pemerintah jadi terkesan hanya membagi-bagi anggaran untuk platform digital tanpa alat ukur yang jelas tentang efektivitas pelaksanaan hasil dari pelatihan.
"Memang betul, antusiasme dari masyarakat luar biasa, dengan sudah mengantre 1,4 juta pendaftar. Tapi perlu dikaji, pendaftar ini memang ingin menambah skill yang ditawarkan oleh platform digital ini atau sekadar mengincar dana tunai Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan?, tanyanya.
Dengan perkembangan yang ada, ketika pemerintah terus melanjutkan desain dan model Program Kartu Prakerja, yang sudah akan masuk ke batch 4, menurutnya wajar kalau kemudian timbul pertanyaan.
"Dalam program kartu prakerja ini, siapa yang sedang cari kerja? Yang sedang cari kerja, masyarakat atau platform digital? Mari jangan lelah dalam memberikan masukan terbaik kepada pemerintah untuk kebaikan masyarakat dan bangsa," pungkas Ajib.
Perpres ini bentuk konsistensi pemerintah tentang gagasan pokok yang diusung Jokowi di periode kepemimpinan keduanya, tentang peningkatan kualitas SDM (4 program pokok lainnya adalah: keberlanjutan infrastruktur, deregulasi, debirokratisasi dan transformasi ekonomi).
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani menyampaikan, hal ini bisa mengurai problem klasik pendidikan di Indonesia, mismatching dunia pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri, yang menjadi penyebab utama munculnya kaum intellectual proletar.
"Masalahnya kemudian muncul dalam pelaksanaan teknis. Yang digandeng oleh Tim Project Management Officer (PMO) adalah justru platform digital yang menyediakan pelatihan-pelatihan online, yang kemudian menjadi polemik," ujar Ajib di Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Lanjut Ajib, seharusnya yang digandeng oleh Tim PMO adalah penyerap tenaga kerjanya, untuk dijadikan standar monitoring evaluasi seberapa efektif program ini bermanfaat buat masyarakat.
Berapa banyak yang selanjutnya bisa diserap sebagai tenaga kerja. Seberapa banyak yang setelah ketrampilannya bertambah selanjutnya bisa menjadi rekanan swasta, dan lain-lain. Sedangkan untuk pelatihan, apakah online atau offline, dan penerima program mengambil program dimana, itu hanya masalah teknis
"Apalagi, sekarang muncul platform digital "Prakerja.org" yang menjadi kanal gratis buat orang yang mau meningkatkan skill sebagai pembanding platform digital berbayar, dan relatif mahal, yang digandeng oleh pemerintah. Ini adalah sebuah "tamparan keras" dari para pegiat sosial kepada pemerintah," ungkap Ajib.
Dengan anggaran sebesar Rp20 triliun, yang diantaranya Rp5,6 triliun untuk "sekadar" pelatihan, maka pemerintah jadi terkesan hanya membagi-bagi anggaran untuk platform digital tanpa alat ukur yang jelas tentang efektivitas pelaksanaan hasil dari pelatihan.
"Memang betul, antusiasme dari masyarakat luar biasa, dengan sudah mengantre 1,4 juta pendaftar. Tapi perlu dikaji, pendaftar ini memang ingin menambah skill yang ditawarkan oleh platform digital ini atau sekadar mengincar dana tunai Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan?, tanyanya.
Dengan perkembangan yang ada, ketika pemerintah terus melanjutkan desain dan model Program Kartu Prakerja, yang sudah akan masuk ke batch 4, menurutnya wajar kalau kemudian timbul pertanyaan.
"Dalam program kartu prakerja ini, siapa yang sedang cari kerja? Yang sedang cari kerja, masyarakat atau platform digital? Mari jangan lelah dalam memberikan masukan terbaik kepada pemerintah untuk kebaikan masyarakat dan bangsa," pungkas Ajib.
(bon)
tulis komentar anda