Airlangga: Perusahaan Perlu Menyiapkan Tameng Hadapi Krisis
Jum'at, 28 Mei 2021 - 10:30 WIB
JAKARTA - Pandemi Covid-19 secara tiba-tiba pada semester pertama 2020 telah menimbulkan disrupsi dan menggeser berbagai tatanan kehidupan sebelumnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato mengatakan pandemi ini seolah ingin mengingatkan kembali pentingnya keberlangsungan bisnis, bahwa perusahaan harus memperhatikan semua stakeholders internal dan eksternal yang terdampak, dari para pemegang saham, pegawai, hingga konsumen akhir.
“Kita juga melihat pentingnya kecepatan perusahaan merespon terjadinya hal-hal yang sebelumnya tak terduga. Semuanya menekankan kembali kebutuhan terhadap tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) sebagai fondasi utama pengambilan keputusan yang lebih baik,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (28/5/2021).
Sejauh ini, GCG masih menjadi salah satu kelemahan yang dipunyai sebagian besar perusahaan di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di akhir tahun 90-an adalah tata kelola perusahaan yang kurang baik, antara lain berupa kualitas investasi yang buruk, diversifikasi usaha yang sangat luas, jumlah pinjaman jangka pendek tak lindung nilai yang sangat banyak, lemahnya peran direksi dan komisaris, sistem audit yang buruk, kurangnya transparansi, serta penegakan hukum yang lemah.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan tata kelola di Indonesia, salah satunya pembentukan Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKG) pada 1999 melalui Keputusan Menko Ekuin saat itu. Lembaga ini pada awalnya membangun kesadaran pentingnya tata kelola perusahaan melalui seminar dan pelatihan serta penyusunan beberapa pedoman tata kelola. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menerbitkan Peta Arah Tata Kelola Perusahaan Indonesia pada awal 2014. Pedoman ini terutama ditujukan untuk emiten dan perusahaan publik.
“Upaya reformasi tata kelola ini selanjutnya mendorong timbulnya inisiatif lain dari berbagai lembaga seperti penerbitan indeks persepsi tata kelola setiap tahun, serta pemberian penghargaan kepada perusahaan yang telah menerapkan tata kelola dengan baik seperti yang dilaksanakan IICD saat ini,” jelas Menko Airlangga.
Pada level regional, kesadaran reformasi tata kelola juga terjadi kolektif di wilayah ASEAN, yang mana ASEAN Capital Market Forum memperkenalkan ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) pada 2011 yang dikembangkan dari prinsip-prinsip The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Scorecard tersebut diharapkan dapat meningkatkan standar tata kelola perusahaan dari perusahaan terbuka di negara-negara ASEAN dan meningkatkan visibilitas mereka kepada investor.
Pada 2019, sepuluh perusahaan tercatat di Indonesia masuk dalam kategori ASEAN Asset Class berdasarkan ACGS. Hal ini menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah perusahaan tercatat yang masuk dalam ACGS setiap tahun juga mengalami peningkatan, yang artinya sudah banyak perusahaan tercatat di indonesia yang memiliki tata kelola yang baik.
Pada 2012, rata-rata total skor perusahaan di Indonesia baru mencapai 43,29 dan terus meningkat hingga mencapai 70,8 di 2019. “Meski terus terjadi peningkatan setiap tahun dalam pencapaian ACGS ini, masih ada potensi perbaikan skor negara kita, karena melihat secara umum bahwa kita masih tidak lebih tinggi dari negara lain yang berpartisipasi di ACGS kecuali Vietnam,” ujar Menko Airlangga.
“Kita juga melihat pentingnya kecepatan perusahaan merespon terjadinya hal-hal yang sebelumnya tak terduga. Semuanya menekankan kembali kebutuhan terhadap tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) sebagai fondasi utama pengambilan keputusan yang lebih baik,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (28/5/2021).
Sejauh ini, GCG masih menjadi salah satu kelemahan yang dipunyai sebagian besar perusahaan di Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi di akhir tahun 90-an adalah tata kelola perusahaan yang kurang baik, antara lain berupa kualitas investasi yang buruk, diversifikasi usaha yang sangat luas, jumlah pinjaman jangka pendek tak lindung nilai yang sangat banyak, lemahnya peran direksi dan komisaris, sistem audit yang buruk, kurangnya transparansi, serta penegakan hukum yang lemah.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan tata kelola di Indonesia, salah satunya pembentukan Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKG) pada 1999 melalui Keputusan Menko Ekuin saat itu. Lembaga ini pada awalnya membangun kesadaran pentingnya tata kelola perusahaan melalui seminar dan pelatihan serta penyusunan beberapa pedoman tata kelola. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menerbitkan Peta Arah Tata Kelola Perusahaan Indonesia pada awal 2014. Pedoman ini terutama ditujukan untuk emiten dan perusahaan publik.
“Upaya reformasi tata kelola ini selanjutnya mendorong timbulnya inisiatif lain dari berbagai lembaga seperti penerbitan indeks persepsi tata kelola setiap tahun, serta pemberian penghargaan kepada perusahaan yang telah menerapkan tata kelola dengan baik seperti yang dilaksanakan IICD saat ini,” jelas Menko Airlangga.
Pada level regional, kesadaran reformasi tata kelola juga terjadi kolektif di wilayah ASEAN, yang mana ASEAN Capital Market Forum memperkenalkan ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) pada 2011 yang dikembangkan dari prinsip-prinsip The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Scorecard tersebut diharapkan dapat meningkatkan standar tata kelola perusahaan dari perusahaan terbuka di negara-negara ASEAN dan meningkatkan visibilitas mereka kepada investor.
Pada 2019, sepuluh perusahaan tercatat di Indonesia masuk dalam kategori ASEAN Asset Class berdasarkan ACGS. Hal ini menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah perusahaan tercatat yang masuk dalam ACGS setiap tahun juga mengalami peningkatan, yang artinya sudah banyak perusahaan tercatat di indonesia yang memiliki tata kelola yang baik.
Pada 2012, rata-rata total skor perusahaan di Indonesia baru mencapai 43,29 dan terus meningkat hingga mencapai 70,8 di 2019. “Meski terus terjadi peningkatan setiap tahun dalam pencapaian ACGS ini, masih ada potensi perbaikan skor negara kita, karena melihat secara umum bahwa kita masih tidak lebih tinggi dari negara lain yang berpartisipasi di ACGS kecuali Vietnam,” ujar Menko Airlangga.
tulis komentar anda