Perhitungan Kerugian Tak Jelas, UU Merek Disarankan Diamendemen
Minggu, 30 Mei 2021 - 09:21 WIB
JAKARTA - Persoalan sengketa merek dagang di Indonesia dinilai masih sulit diselesaikan dengan memuaskan karena belum didukung aturan hukum yang jelas. Tantangan saat ini adalah pada Undang-Undang (UU) No 20/2016 atau UU Merek yang masih minim memerinci jenis kerugian yang bisa dijadikan sebagai tuntutan .
"Belum ada rincian kriteria-kriteria. Sebaiknya UU 20 ini diamendemen lalu dibikin detail hal apa saja yang bisa dituntut. Jadi Ketua MA bisa beri surat edaran tentang petunjuk teknis mengenai kerugian apa saja yang dituntut," ujar akademisi dan juga Hakim Agung MA Ibrahim, dalam webinar Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan/MIAP di Jakarta (30/5/2021).
Ibrahim juga pesimistis pasal 1365 KUH Perdata bisa dijadikan dasar dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi sengketa merek. "Saya ragu karena ini lebih diarahkan ke ranah properti yang tangible fisik. Setelah diperhatikan pada UU Merek, saya tidak melihat tipe kerugian yang dipertimbangkan dalam gugatan," tambahnya.
Dia menilai, pengadilan akan sulit memenuhi harapan atau ekspektasi pemilik merek dalam kasus sengketa. Sebab, belum bisa ditentukan variabel apa saja yang bisa dipertimbangkan. "Jadi diperlukan sekarang adalah arahan dari Dirjen HAKI sebagai pedoman dalam menghitung dan menentukan kerugian. Sehingga pemilik merek terdaftar bisa memperoleh haknya yang dituntut. Lalu hakim akan kabulkan tuntutannya, kalau itu memang bisa dibuktikan," tegasnya.
Terkait dengan itu, Ibrahim menyarankan untuk melihat praktik di beberapa negara yang sudah memberlakukan pedoman untuk menghitung kerugian.
Sementara Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Albertus Usada menegaskan, inti hukum merek adalah sebagai pelindung merek terdaftar dengan prinsip first to file. Maka dalam UU No 20 Tahun 2016, ditentukan kaidah hukum pemilik merek terdaftar, dapat mengajukan gugatan ke pihak lain yang menggunakan merek yang sama dengan pokoknya untuk barang dan jasa sejenis. "Bisa gugatan ganti rugi dan penghentian penggunaan merek," ungkap Albertus dalam kesempatan yang sama.
Akan tetapi dalam praktik atau fakta persidangan, gugatan itu berkemungkinan menjadi prematur, mengingat akan berpotensi adanya tumpang tindih keputusan nantinya. Sebut saja misalnya gugatan dikabulkan namun permohonan merek juga dikabulkan. Pada akhirnya tidak akan ada yang menang di dalam perkara tersebut.
Untuk itu, menurut Albertus, harus jelas posisi pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek untuk barang dan jasa sejenis, dan atas perbuatan apa pihak kedua gunakan merek tanpa ijzn dari merek terdaftar. "Saya kira dengan acuan pada MIAP, kita bisa susun strategi isu hukum, juga gugatan ganti rugi," ujarnya.
"Belum ada rincian kriteria-kriteria. Sebaiknya UU 20 ini diamendemen lalu dibikin detail hal apa saja yang bisa dituntut. Jadi Ketua MA bisa beri surat edaran tentang petunjuk teknis mengenai kerugian apa saja yang dituntut," ujar akademisi dan juga Hakim Agung MA Ibrahim, dalam webinar Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan/MIAP di Jakarta (30/5/2021).
Ibrahim juga pesimistis pasal 1365 KUH Perdata bisa dijadikan dasar dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi sengketa merek. "Saya ragu karena ini lebih diarahkan ke ranah properti yang tangible fisik. Setelah diperhatikan pada UU Merek, saya tidak melihat tipe kerugian yang dipertimbangkan dalam gugatan," tambahnya.
Dia menilai, pengadilan akan sulit memenuhi harapan atau ekspektasi pemilik merek dalam kasus sengketa. Sebab, belum bisa ditentukan variabel apa saja yang bisa dipertimbangkan. "Jadi diperlukan sekarang adalah arahan dari Dirjen HAKI sebagai pedoman dalam menghitung dan menentukan kerugian. Sehingga pemilik merek terdaftar bisa memperoleh haknya yang dituntut. Lalu hakim akan kabulkan tuntutannya, kalau itu memang bisa dibuktikan," tegasnya.
Terkait dengan itu, Ibrahim menyarankan untuk melihat praktik di beberapa negara yang sudah memberlakukan pedoman untuk menghitung kerugian.
Sementara Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Albertus Usada menegaskan, inti hukum merek adalah sebagai pelindung merek terdaftar dengan prinsip first to file. Maka dalam UU No 20 Tahun 2016, ditentukan kaidah hukum pemilik merek terdaftar, dapat mengajukan gugatan ke pihak lain yang menggunakan merek yang sama dengan pokoknya untuk barang dan jasa sejenis. "Bisa gugatan ganti rugi dan penghentian penggunaan merek," ungkap Albertus dalam kesempatan yang sama.
Akan tetapi dalam praktik atau fakta persidangan, gugatan itu berkemungkinan menjadi prematur, mengingat akan berpotensi adanya tumpang tindih keputusan nantinya. Sebut saja misalnya gugatan dikabulkan namun permohonan merek juga dikabulkan. Pada akhirnya tidak akan ada yang menang di dalam perkara tersebut.
Untuk itu, menurut Albertus, harus jelas posisi pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek untuk barang dan jasa sejenis, dan atas perbuatan apa pihak kedua gunakan merek tanpa ijzn dari merek terdaftar. "Saya kira dengan acuan pada MIAP, kita bisa susun strategi isu hukum, juga gugatan ganti rugi," ujarnya.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda