China Diterjang Wabah Baru, Harga Minyak Ikut Lesu
Senin, 26 Juli 2021 - 18:48 WIB
JAKARTA - Mengawali pekan ini, harga minyak terpantau bergerak bearish dibebani oleh potensi memanasnya tensi hubungan Amerika Serikat (AS) dengan China akibat ancaman AS untuk mengenakan tindakan keras pada entitas China yang membeli minyak Iran serta melonjaknya kasus Covid-19 di Asia yang mengancam pemulihan permintaan bahan bakar.
Research & Development Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) Yoga Tirta mengatakan, AS sedang mempertimbangkan untuk menindak penjualan minyak Iran ke China karena bersiap untuk kemungkinan bahwa Iran mungkin tidak akan melanjutkan pembicaraan nuklir atau mungkin mengadopsi garis yang lebih keras kapan di bawah kepemimpinan Ebrahim Raisi, Presiden baru Iran yang akan mulai menjabat pada 5 Agustus mendatang, kata seorang pejabat AS.
"Ancaman dari AS tersebut berpotensi menekan penjualan minyak Iran karena China merupakan importir terbesar minyak Iran. Namun, di sisi lain hal itu juga berpotensi memanaskan hubungan AS dengan China, yang dapat memicu masalah baru di tengah upaya pemulihan ekonomi global saat ini," ujarnya dalam siaran pers, Senin (26/7/2021).
Sementara itu, peningkatan kasus Covid-19 di Asia masih terus membayangi pemulihan permintaan bahan bakar. China pada hari Jumat melaporkan wabah baru Covid-19 di lima provinsi yang diduga berasal dari kota Nanjing, China timur.
Indonesia pada hari Minggu mengumumkan untuk memperpanjang pembatasan hingga 2 Agustus mendatang di tengah peningkatan kematian akibat Covid-19. Korea Selatan pada hari Minggu mengatakan akan memperketat aturan jarak sosial di sebagian besar penjuru negara minggu ini, memperingatkan bahwa gelombang Covid-19 terburuknya mungkin menyebar lebih jauh di musim liburan musim panas.
"Melihat dari sudut pandang teknis, harga minyak akan berada dalam kisaran resistance di Rp1.060.000 - 1.080.000 per barel serta kisaran Support di Rp1.020.000 - 1.000.000 per barel," tuturnya.
Research & Development Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) Yoga Tirta mengatakan, AS sedang mempertimbangkan untuk menindak penjualan minyak Iran ke China karena bersiap untuk kemungkinan bahwa Iran mungkin tidak akan melanjutkan pembicaraan nuklir atau mungkin mengadopsi garis yang lebih keras kapan di bawah kepemimpinan Ebrahim Raisi, Presiden baru Iran yang akan mulai menjabat pada 5 Agustus mendatang, kata seorang pejabat AS.
"Ancaman dari AS tersebut berpotensi menekan penjualan minyak Iran karena China merupakan importir terbesar minyak Iran. Namun, di sisi lain hal itu juga berpotensi memanaskan hubungan AS dengan China, yang dapat memicu masalah baru di tengah upaya pemulihan ekonomi global saat ini," ujarnya dalam siaran pers, Senin (26/7/2021).
Sementara itu, peningkatan kasus Covid-19 di Asia masih terus membayangi pemulihan permintaan bahan bakar. China pada hari Jumat melaporkan wabah baru Covid-19 di lima provinsi yang diduga berasal dari kota Nanjing, China timur.
Indonesia pada hari Minggu mengumumkan untuk memperpanjang pembatasan hingga 2 Agustus mendatang di tengah peningkatan kematian akibat Covid-19. Korea Selatan pada hari Minggu mengatakan akan memperketat aturan jarak sosial di sebagian besar penjuru negara minggu ini, memperingatkan bahwa gelombang Covid-19 terburuknya mungkin menyebar lebih jauh di musim liburan musim panas.
"Melihat dari sudut pandang teknis, harga minyak akan berada dalam kisaran resistance di Rp1.060.000 - 1.080.000 per barel serta kisaran Support di Rp1.020.000 - 1.000.000 per barel," tuturnya.
(ind)
tulis komentar anda