Ingin Bersaing? Literasi Digital UMKM Harus Ditingkatkan
Sabtu, 14 Agustus 2021 - 13:07 WIB
JAKARTA - Literasi digital saat ini menjadi salah satu konsep populer yang ramai diperbincangkan. Banyak pelaku usaha di Indonesia masih belum melek teknologi, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) . Dari 64 juta UMKM, baru sekitar 18% yang masuk platform digital.
Pandemi yang belum berakhir membuat banyak sektor harus berjuang keras agar bisa bertahan. Tak terkecuali para pelaku usaha UMKM. Salah satu upaya untuk bertahan itu dengan memaksimalkan platform digital agar berdaya saing. Sayangnya, pengetahuan teknologi yang masih rendah dan tenaga kerja yang kurang terampil masih menjadi kendala digitalisasi pelaku UMKM. Padahal, pengguna internet di Indonesia setiap tahun terus tumbuh. Dengan jumlah pengguna diperkirakan sudah menembus lebih dari 75% populasi.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba Rachman, mengatakan, saat ini jumlah UMKM yang sudah merambah ke lingkup digital baru mencapai 18-19% atau sekitar 12 juta UMKM. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang berkisar pada angka 13% atau sekitar 8 juta UMKM.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi yaitu tidak semua UMKM teredukasi memanfaatkan platform digital. Menurut Hanung, literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan. “Literasi (digital) kita masih belum tinggi, belum memanfaatkan platform digital untuk kepentingan produktif. Misalnya WhatsApp, Facebook, dan medsos (media sosial) lain untuk berdagang. Literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan,” jelas Hanung kepada KORAN SINDO kemarin.
Pandemi memang berdampak besar terhadap lesunya perekonomian, namun justru terjadi peningkatan jumlah transaksi secara daring sebesar 26% atau 3,1 juta transaksi per hari serta kenaikan 35% pengiriman barang. Peningkatan transaksi itu mayoritas disumbang dari penjualan ritel (pakaian) dan makanan. Selain itu, sektor jasa seperti tempat wisata atau hotel untuk staycation. Kondisi itu menjadi peluang besar bagi UMKM untuk bisa memenuhi pasar daring yang masih terbuka lebar.
Hanung menilai, digitalisasi bisa menjadi salah satu cara agar UMKM mampu bertahan dan berpotensi tetap tumbuh di tengah pandemi. Untuk itu, para pelaku usaha juga harus memiliki terobosan dan inovasi ketika memanfaatkan ruang atau platform digital tersebut.
Kendala lain yang harus ditangani ialah kapasitas produksi UMKM yang relatif rendah. Kondisi tersebut menjadikan daya saing UMKM masih lemah lantaran tidak bisa memenuhi order dalam jumlah besar. “Kalau kita lihat, struktur UMKM paling banyak itu mikro. Kapasitas produksinya enggak besar. Jadi, kalau go digital atau e-commerce, tiba-tiba permintaannya banyak, mereka kelimpungan karena kapasitasnya cuma warung kecil. Belum lagi, yang kerja juga sedikit. Itu-itu saja,” ujarnya.
Pandemi yang belum berakhir membuat banyak sektor harus berjuang keras agar bisa bertahan. Tak terkecuali para pelaku usaha UMKM. Salah satu upaya untuk bertahan itu dengan memaksimalkan platform digital agar berdaya saing. Sayangnya, pengetahuan teknologi yang masih rendah dan tenaga kerja yang kurang terampil masih menjadi kendala digitalisasi pelaku UMKM. Padahal, pengguna internet di Indonesia setiap tahun terus tumbuh. Dengan jumlah pengguna diperkirakan sudah menembus lebih dari 75% populasi.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba Rachman, mengatakan, saat ini jumlah UMKM yang sudah merambah ke lingkup digital baru mencapai 18-19% atau sekitar 12 juta UMKM. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang berkisar pada angka 13% atau sekitar 8 juta UMKM.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi yaitu tidak semua UMKM teredukasi memanfaatkan platform digital. Menurut Hanung, literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan. “Literasi (digital) kita masih belum tinggi, belum memanfaatkan platform digital untuk kepentingan produktif. Misalnya WhatsApp, Facebook, dan medsos (media sosial) lain untuk berdagang. Literasi itu bukan hanya bisa mengoperasikan, tapi bagaimana memanfaatkan dengan cerdas sesuai kepentingan,” jelas Hanung kepada KORAN SINDO kemarin.
Pandemi memang berdampak besar terhadap lesunya perekonomian, namun justru terjadi peningkatan jumlah transaksi secara daring sebesar 26% atau 3,1 juta transaksi per hari serta kenaikan 35% pengiriman barang. Peningkatan transaksi itu mayoritas disumbang dari penjualan ritel (pakaian) dan makanan. Selain itu, sektor jasa seperti tempat wisata atau hotel untuk staycation. Kondisi itu menjadi peluang besar bagi UMKM untuk bisa memenuhi pasar daring yang masih terbuka lebar.
Hanung menilai, digitalisasi bisa menjadi salah satu cara agar UMKM mampu bertahan dan berpotensi tetap tumbuh di tengah pandemi. Untuk itu, para pelaku usaha juga harus memiliki terobosan dan inovasi ketika memanfaatkan ruang atau platform digital tersebut.
Kendala lain yang harus ditangani ialah kapasitas produksi UMKM yang relatif rendah. Kondisi tersebut menjadikan daya saing UMKM masih lemah lantaran tidak bisa memenuhi order dalam jumlah besar. “Kalau kita lihat, struktur UMKM paling banyak itu mikro. Kapasitas produksinya enggak besar. Jadi, kalau go digital atau e-commerce, tiba-tiba permintaannya banyak, mereka kelimpungan karena kapasitasnya cuma warung kecil. Belum lagi, yang kerja juga sedikit. Itu-itu saja,” ujarnya.
tulis komentar anda