Praktik Industri Sawit Berkelanjutan Bisa Dongkrak Keuntungan
Sabtu, 28 Agustus 2021 - 12:37 WIB
JAKARTA - Industri kelapa sawit Indonesia berpeluang mendapat penambahan nilai hingga USD 9 miliar atau sekitar Rp130 triliun apabila proaktif melakukan mitigasi perubahan iklim global. Upaya ini dapat dicapai jika sektor perbankan dan investor, pemerintah pusat dan daerah, perusahaan dan organisasi kemasyarakatan merespon dengan sigap.
Terutama dengan strategi memanfaatkan permintaan minyak sawit yang terus tumbuh, sembari mengurangi emisi gas rumah kaca, serta melindungi hutan dan lahan gambut.
Temuan penting didapatkan dari kajian Orbitas, lembaga berbasis Washington, D.C., Amerika Serikat yang berfokus meneliti risiko transisi iklim untuk investor yang mendanai komoditas tropis.
Dalam kajian terbarunya berjudul "Climate Transition Risk Analyst Brief, Indonesia Palm Oil" Orbitas menyebutkan, pelaku industri di Tanah Air akan mendapat manfaat dari transisi iklim jika menerapkan model produksi yang berkelanjutan.
Laporan ini mengungkap transisi iklim akan berdampak besar pada bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebagai komoditas ekspor utama Indonesia. Sejauh mana dampaknya, baik negatif atau positif, tergantung dari kecepatan respons berbagai pemangku kepentingan di Indonesia.
CEO of Climate Advisers UK and the Managing Director of Orbitas, Mark Kenber menjelaskan, terdapat beberapa risiko yang mungkin akan dihadapi perusahaan sawit akibat transisi iklim.
“Perubahan kebijakan dan hukum, inovasi dan teknologi, serta perubahan pasar akan terjadi sebagai respon atas transisi iklim. Seluruh sektor yang terkoneksi dalam perdagangan global akan terdampak termasuk kelapa sawit,” ujar Mark dalam sesi presentasi pada peluncuran kajian dalam rangkaian forum tahunan Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE), Jumat (27/8/2021).
Walaupun peluangnya cukup besar, risiko yang ditimbulkan jika bisnis sawit tidak dikelola secara berkelanjutan justru lebih besar. Laporan ini menunjukkan 76% lahan konsesi yang belum ditanami dan 15% konsesi yang sudah ditanami berisiko menjadi aset terdampar (stranded assets).
Terutama dengan strategi memanfaatkan permintaan minyak sawit yang terus tumbuh, sembari mengurangi emisi gas rumah kaca, serta melindungi hutan dan lahan gambut.
Temuan penting didapatkan dari kajian Orbitas, lembaga berbasis Washington, D.C., Amerika Serikat yang berfokus meneliti risiko transisi iklim untuk investor yang mendanai komoditas tropis.
Dalam kajian terbarunya berjudul "Climate Transition Risk Analyst Brief, Indonesia Palm Oil" Orbitas menyebutkan, pelaku industri di Tanah Air akan mendapat manfaat dari transisi iklim jika menerapkan model produksi yang berkelanjutan.
Laporan ini mengungkap transisi iklim akan berdampak besar pada bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebagai komoditas ekspor utama Indonesia. Sejauh mana dampaknya, baik negatif atau positif, tergantung dari kecepatan respons berbagai pemangku kepentingan di Indonesia.
CEO of Climate Advisers UK and the Managing Director of Orbitas, Mark Kenber menjelaskan, terdapat beberapa risiko yang mungkin akan dihadapi perusahaan sawit akibat transisi iklim.
“Perubahan kebijakan dan hukum, inovasi dan teknologi, serta perubahan pasar akan terjadi sebagai respon atas transisi iklim. Seluruh sektor yang terkoneksi dalam perdagangan global akan terdampak termasuk kelapa sawit,” ujar Mark dalam sesi presentasi pada peluncuran kajian dalam rangkaian forum tahunan Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE), Jumat (27/8/2021).
Walaupun peluangnya cukup besar, risiko yang ditimbulkan jika bisnis sawit tidak dikelola secara berkelanjutan justru lebih besar. Laporan ini menunjukkan 76% lahan konsesi yang belum ditanami dan 15% konsesi yang sudah ditanami berisiko menjadi aset terdampar (stranded assets).
tulis komentar anda