Soroti Kurikulum Ekonomi Syariah, Menkeu Sri Mulyani Kasih Beberapa Catatan
Kamis, 28 Oktober 2021 - 17:11 WIB
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melihat, kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang belajar ekonomi Islam belum mampu memenuhi kebutuhan industri dan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam tiga dekade terakhir, pengkajian ilmu ekonomi syariah sendiri telah bertransformasi menjadi semakin terstruktur dan sistematis, bahkan telah dikembangkan di fakultas atau program studi pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
“Data menunjukkan bahwa 80% hingga 90% sumber daya manusia industri di bidang keuangan syariah, bahkan lebih banyak menghire atau mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari program studi ekonomi Islam atau ekonomi syariah," kata Menkeu Sri Mulyani dalam video virtual, Kamis (28/10/2021).
Menurut Menkeu, tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan ekonomi syariah menjadi semakin besar dengan munculnya fenomena revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi digital yang menciptakan peluang dan disrupsi yang menuntut sumber daya manusia terus beradaptasi. Di saat bersamaan, tantangan semakin rumit dengan hadirnya pandemi Covid-19.
“Ini merupakan suatu pelajaran yang nyata bagi kita bahwa teknologi bisa menjadi solusi dari tantangan yang muncul secara sangat tiba-tiba seperti Covid-19. Jadi bagaimana kita akan terus mengandalkan dan menggunakan teknologi ini, sementara kita belajar program dan juga studi mengenai keislaman dari sisi ekonomi juga tetap relevan”, ujarnya.
Dalam mengembangkan pendidikan Syariah, lanjut Menkeu, salah satu area yang perlu ditingkatkan adalah sisi kurikulum. Menkeu mengatakan bahwa pendidikan ekonomi syariah memerlukan kurikulum yang dibangun sejalan dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan industrinya.
“Ini tantangan yang tidak mudah, namun harus dijawab. Kita tidak hanya melihat dari sisi komplain secara syariah saja, namun menjadi tidak relevan. Kita harus berfokus pada mencapai tujuan, namun nilai-nilai Islam tetap bisa dipertahankan dan mewarnai proses tersebut," jelas Menkeu yang juga sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI).
Sri Mulyani juga menyoroti juga perbedaan nomenklatur program studi ekonomi syariah di Indonesia, dimana nomenklatur ekonomi Islam dipakai di perguruan tinggi umum di bawah Kemendikbud Ristek. Sementara nomenklatur ekonomi syariah digunakan oleh perguruan tinggi yang berada di bawah Kementerian Agama.
“Oleh karena itu saya berharap melalui IAEI penyederhanaan nomenklatur program studi ekonomi syariah bisa dilaksanakan dengan tanpa mengurangi keberadaan kajian keilmuan yang dikembangkan. Nomenklatur harus semakin menciptakan keberadaan yang makin dalam up to date”, ungkapnya.
“Data menunjukkan bahwa 80% hingga 90% sumber daya manusia industri di bidang keuangan syariah, bahkan lebih banyak menghire atau mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari program studi ekonomi Islam atau ekonomi syariah," kata Menkeu Sri Mulyani dalam video virtual, Kamis (28/10/2021).
Baca Juga
Menurut Menkeu, tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan ekonomi syariah menjadi semakin besar dengan munculnya fenomena revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi digital yang menciptakan peluang dan disrupsi yang menuntut sumber daya manusia terus beradaptasi. Di saat bersamaan, tantangan semakin rumit dengan hadirnya pandemi Covid-19.
“Ini merupakan suatu pelajaran yang nyata bagi kita bahwa teknologi bisa menjadi solusi dari tantangan yang muncul secara sangat tiba-tiba seperti Covid-19. Jadi bagaimana kita akan terus mengandalkan dan menggunakan teknologi ini, sementara kita belajar program dan juga studi mengenai keislaman dari sisi ekonomi juga tetap relevan”, ujarnya.
Dalam mengembangkan pendidikan Syariah, lanjut Menkeu, salah satu area yang perlu ditingkatkan adalah sisi kurikulum. Menkeu mengatakan bahwa pendidikan ekonomi syariah memerlukan kurikulum yang dibangun sejalan dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan industrinya.
“Ini tantangan yang tidak mudah, namun harus dijawab. Kita tidak hanya melihat dari sisi komplain secara syariah saja, namun menjadi tidak relevan. Kita harus berfokus pada mencapai tujuan, namun nilai-nilai Islam tetap bisa dipertahankan dan mewarnai proses tersebut," jelas Menkeu yang juga sebagai Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI).
Sri Mulyani juga menyoroti juga perbedaan nomenklatur program studi ekonomi syariah di Indonesia, dimana nomenklatur ekonomi Islam dipakai di perguruan tinggi umum di bawah Kemendikbud Ristek. Sementara nomenklatur ekonomi syariah digunakan oleh perguruan tinggi yang berada di bawah Kementerian Agama.
“Oleh karena itu saya berharap melalui IAEI penyederhanaan nomenklatur program studi ekonomi syariah bisa dilaksanakan dengan tanpa mengurangi keberadaan kajian keilmuan yang dikembangkan. Nomenklatur harus semakin menciptakan keberadaan yang makin dalam up to date”, ungkapnya.
(akr)
tulis komentar anda