Capai Target Bebas Emisi Karbon Butuh Dana Besar, Apa Solusinya?

Kamis, 04 November 2021 - 23:59 WIB
Ilustrasi emisi karbondioksida atau CO2. FOTO/123RF.COM/ALEKSANDR PAPICHEV
JAKARTA - Sejumlah negara mulai berlomba-lomba mengambil berbagai komitmen global dan inisiatif berupa regulasi yang ditujukan untuk mengurangi jejak karbon hingga mencapai net zero emission pada 2050. Termasuk Indonesia, yang mana baru-baru ini menetapkan implementasi pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru disahkan pekan lalu.

Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan penerapan Environmental Social Governance (ESG) di dunia industri Indonesia dan membantu mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 mendatang, yakni menurunkan 29 persen emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.

Untuk mencapai sistem keuangan hijau dan berkelanjutan, dibutuhkan koordinasi dan kerja sama yang masif di antara berbagai kelompok pemangku kepentingan. Salah satu upaya yang dicanangkan oleh inisiatif ESG global untuk membangun standar sistem pelaporan yang berkelanjutan ini adalah dibentuknya Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) untuk meningkatkan dan memperkuat pelaporan informasi keuangan yang memperhatikan perubahan iklim.





Hal tersebut menjadi penting untuk mencapai net zero emission pada 2050 diperkirakan membutuhkan pendanaan sangat besar. Diperkirakan pendanaan mencapaiUSD2-5 triliun hingga tahun 2030 dan jumlah tersebut akan terus dibutuhkan hingga 2050 demi keberhasilan mencapai target net zero emission tersebut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abhayawansa dari Universitas Swinburne dan Carol Adams dari Glasgow University, ditemukan bahwa bisnis yang menerapkan berbagai kegiatan dan kebijakan terkait ESG, cenderung menerima aliran dana yang lebih tinggi atau lebih besar dibandingkan bisnis yang tidak terlibat sama sekali dengan kegiatan ESG.

Penelitian tersebut juga mengatakan bahwa mereka yang memiliki dana yang tidak berfokus pada keberlanjutan, dalam hal ini ESG memiliki kinerja yang lebih buruk dari pada dana yang memperhatikan tata kelola yang baik dan dampak yang lebih rendah terhadap lingkungan. Sebagian besar dana ramah lingkungan tersebut berhasil mencatatkan return saham yang lebih besar.

"Jadi bisa kita simpulkan bahwa akan selalu ada hubungan positif antara kinerja ESG dengan kinerja di pasar modal." kata Anggota Financial Accounting Standards Board and Comprehensive Corporate Reporting Task Force, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Elvia Shauki dalam webinar bersama ICAEW dikutip di Jakarta, Kamis (4/11/2021).



Kebutuhan akan informasi yang jelas, komprehensif, dan berkualitas tinggi tentang dampak perubahan iklim pun kian meningkat. Sebab itu, akuntan menjadi pemegang peranan penting demi memastikan bisnis dan proyek berjalan secara lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, mengikuti kaidah ESG yang tercermin dalam pelaporan keuangan mereka.

Executive Director AFA Aucky Pratama mengatakan bahwa akuntan harus semakin menyadari pentingnya isu keberlanjutan dan lebih penting lagi peran profesi. Green and Sustainable Finance kemudian turut menjadi sebuah topik yang menarik bagi banyak akuntan atau praktisi keuangan dan profesional. "Utamanya, mengenai bagaimana cara melihat laporan pertanggungjawaban sebuah bisnis yang menerapkan pilar ESG secara baik," kata dia.
(nng)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More