Cukai Hasil Tembakau Naik, Bisa Picu Migrasi Besar-besaran ke Rokok Ilegal
Selasa, 09 November 2021 - 23:53 WIB
JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai rencana kenaikan cukai rokok perlu ditinjau ulang. Peningkatan harga rokok terlalu tinggi bisa memicu migrasi ke rokok ilegal dengan harga yang jauh lebih murah.
Peneliti dari Universitas Padjajaran Wawan Hermawan berpendapat kenaikan cukai rokok di Indonesia selama ini sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok. Sehingga lonjakan harga rokok yang terlalu tinggi akibat kenaikan cukai dikhawatirkan bisa mendorong perubahan konsumsi dari rokok remsi berpindah ke rokok ilegal.
Berdasarkan hasil kajian, persentasi perokok anak usia 10-18 tahun terus mengalami penurunan dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Penurunan ini, menurut Wawan, konsisten terjadi untuk kelompok umur 13-15 tahun dan kelompok umur 16-18 tahun. Kelompok umur 10-12 tahun terjadi kenaikan pada tahun 2019 ke tahun 2020, walaupun persentase perokok dari kelompok umur 10-12 tahun sangat rendah dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.
"Terdapat perbedaan antara target pada RPJMN 2020-2024 dan data publikasi BPS. Selain itu perkembangan prevalensi merokok juga menunjukkan sudah terjadi penurunan dari tahun 2018 sampai dengan 2020," kata Wawan dalam webinar Reformulasi Kebijakan Cukai Rokok dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau secara virtual baru-baru ini.
Wawan mengatakan prevalensi merokok umur 10-18 tahun di Indonesia sudah turun sampai dengan 3,81 persen untuk perokok tembakau, dan 3.90% untuk perokok tembakau dan elektrik. "Prevalensi merokok umur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas turun dari tahun 2019 dan tahun 2020," ujarnya.
Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari tahun 2019 dan tahun 2020 dilihat dari tahun 2017. "Kami memandang pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun," katanya.
Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkap bahwa terdapat hal yang kontradiktif di mana penerimaan cukai justru turun ketika tarif cukai dinaikkan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan kenaikan tarif cukai untuk menurunkan prevalensi perokok tidak sesuai yang diharapkan.
"Namun yang menarik, meski cukai naik ternyata penerimaan lebih rendah. Ada hal yang kontradiktif dari target pemerintah. Ini artinya tidak sesuai dengan yang diharapkan prevalensi sesuai tapi penerimaan malah turun," katanya.
Peneliti dari Universitas Padjajaran Wawan Hermawan berpendapat kenaikan cukai rokok di Indonesia selama ini sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok. Sehingga lonjakan harga rokok yang terlalu tinggi akibat kenaikan cukai dikhawatirkan bisa mendorong perubahan konsumsi dari rokok remsi berpindah ke rokok ilegal.
Berdasarkan hasil kajian, persentasi perokok anak usia 10-18 tahun terus mengalami penurunan dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Penurunan ini, menurut Wawan, konsisten terjadi untuk kelompok umur 13-15 tahun dan kelompok umur 16-18 tahun. Kelompok umur 10-12 tahun terjadi kenaikan pada tahun 2019 ke tahun 2020, walaupun persentase perokok dari kelompok umur 10-12 tahun sangat rendah dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.
"Terdapat perbedaan antara target pada RPJMN 2020-2024 dan data publikasi BPS. Selain itu perkembangan prevalensi merokok juga menunjukkan sudah terjadi penurunan dari tahun 2018 sampai dengan 2020," kata Wawan dalam webinar Reformulasi Kebijakan Cukai Rokok dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau secara virtual baru-baru ini.
Wawan mengatakan prevalensi merokok umur 10-18 tahun di Indonesia sudah turun sampai dengan 3,81 persen untuk perokok tembakau, dan 3.90% untuk perokok tembakau dan elektrik. "Prevalensi merokok umur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas turun dari tahun 2019 dan tahun 2020," ujarnya.
Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari tahun 2019 dan tahun 2020 dilihat dari tahun 2017. "Kami memandang pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun," katanya.
Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkap bahwa terdapat hal yang kontradiktif di mana penerimaan cukai justru turun ketika tarif cukai dinaikkan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan kenaikan tarif cukai untuk menurunkan prevalensi perokok tidak sesuai yang diharapkan.
"Namun yang menarik, meski cukai naik ternyata penerimaan lebih rendah. Ada hal yang kontradiktif dari target pemerintah. Ini artinya tidak sesuai dengan yang diharapkan prevalensi sesuai tapi penerimaan malah turun," katanya.
tulis komentar anda