Pengangguran di Mana-mana, Covid-19 Sebabkan Luka Dalam
Rabu, 17 November 2021 - 12:30 WIB
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawatimengatakan bahwa sudah hampir dua tahun sejak WHO mendeklarasikan pandemi Covid-19 sebagai bencana global. Pandemi ini juga telah menyebabkan disrupsi ekonomi global yang menonjol, baik dari sisi suplai dan juga permintaan.
"Berkaca dari pengalaman sejarah, dengan adanya disrupsi seperti itu menyebabkan tingginya angka pengangguran, lemahnya investasi, dan rendahnya produktivitas, jika tidak ditangani dengan baik, akan menorehkan luka yang berjangka panjang," ujar Sri dalam Opening Ceremony AICIF 2021, The 9th ASEAN Universities International Conference on Islamic Finance secara virtual pada Rabu(17/11/2021).
Sambung dia menyampaikan, istilah "luka/scar" yang dipakai oleh negara-negara G20 ini bisa menghambat pemulihan sektor swasta dan juga imbas jangka panjang terhadap keuangan publik.
Luka ini juga berdampak terhadap sektor riil dan finansial, dan pada akhirnya menghambat progres menuju pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang tangguh dan resilien.
"Untuk mengatasi masalah-masalah ini, semua negara mengambil langkah kebijakan yang luar biasa, termasuk yang terpenting adalah kebijakan fiskal di Indonesia melalui APBN, kebijakan moneter, serta kebijakan dan aturan sektor finansial," ungkap Sri.
Di tahun 2020, total stimulus fiskal global untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan untuk mendukung bisnis mencapai sekitar USD12 triliun. Di sektor moneter, banyak bank sentral telah mengimplementasikan kebijakan quantitative easing hingga USD7,5 triliun, yang bertujuan untuk mendukung pemulihan ekonomi.
"Seiring dunia bergerak menuju pemulihan, ada kebutuhan darurat untuk menilik risiko dari scarring effect tadi, harus memastikan bahwa semua negara bisa pulih bersama dan bangkit dengan lebih tangguh dengan mengidentifikasi isu-isu kesenjangan," pungkasnya.
"Berkaca dari pengalaman sejarah, dengan adanya disrupsi seperti itu menyebabkan tingginya angka pengangguran, lemahnya investasi, dan rendahnya produktivitas, jika tidak ditangani dengan baik, akan menorehkan luka yang berjangka panjang," ujar Sri dalam Opening Ceremony AICIF 2021, The 9th ASEAN Universities International Conference on Islamic Finance secara virtual pada Rabu(17/11/2021).
Sambung dia menyampaikan, istilah "luka/scar" yang dipakai oleh negara-negara G20 ini bisa menghambat pemulihan sektor swasta dan juga imbas jangka panjang terhadap keuangan publik.
Luka ini juga berdampak terhadap sektor riil dan finansial, dan pada akhirnya menghambat progres menuju pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang tangguh dan resilien.
"Untuk mengatasi masalah-masalah ini, semua negara mengambil langkah kebijakan yang luar biasa, termasuk yang terpenting adalah kebijakan fiskal di Indonesia melalui APBN, kebijakan moneter, serta kebijakan dan aturan sektor finansial," ungkap Sri.
Di tahun 2020, total stimulus fiskal global untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan untuk mendukung bisnis mencapai sekitar USD12 triliun. Di sektor moneter, banyak bank sentral telah mengimplementasikan kebijakan quantitative easing hingga USD7,5 triliun, yang bertujuan untuk mendukung pemulihan ekonomi.
"Seiring dunia bergerak menuju pemulihan, ada kebutuhan darurat untuk menilik risiko dari scarring effect tadi, harus memastikan bahwa semua negara bisa pulih bersama dan bangkit dengan lebih tangguh dengan mengidentifikasi isu-isu kesenjangan," pungkasnya.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda