Pengelolaan Sumur Minyak Tua Butuh Regulasi yang Kuat
Senin, 22 November 2021 - 19:13 WIB
JAKARTA - Naiknya harga minyak dunia hingga level USD 80-90 per barel telah mendorong aktivitas pengeboran di sumur-sumur minyak tua semakin marak. Masyarakat di sejumlah wilayah eks pengeboran mencoba peruntungan dengan melakukan penambangan di sumur-sumur migas yang sudah tidak ekonomis bagi korporasi tersebut.
Sayangnya praktik pengeboran di sumur-sumur minyak tua itu tidak diikuti kepatuhan dan tanggungjawab. Terutama terkait standar keamanan kerja dan perlindungan terhadap lingkungan. Jika situasi ini terus berjalan dikhawatirkan akan menciptakan masalah sosial dan lingkungan di wilayah eks pengeboran minyak yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan, rata-rata sumur-sumur minyak tua yang ada saat ini sudah ditinggalkan oleh korporasi karena sudah tidak ekonomis. Selain cadangan yang menipis dan volume produksi yang terbatas, biaya pengelolaan sumur tua ditinggalkan itu sangat mahal.
“Sebenarnya sumur-sumur tua masih memiliki produksi, untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan masyarakat di sumur-sumur tua itu pemerintah harus membuat aturan yang kuat, agar potensi produksi migas di sumur tersebut bisa kembali ke negara,” kata Fahmy kepada sejumlah media di Jakarta, Senin (22/11/2021).
Menurut Fahmy, untuk menekan angka maraknya kegiatan masyarakat di sekitaran sumur-sumur minyak tua itu, pemerintah harus membuat aturan yang kuat khususnya berkenaan dengan penyerahan sumur-sumur minyak tua setelah ditinggalkan oleh korporasi. Atau, kata Fahmy, korporasi bisa menggandeng warga sekitar yang melakukan kegiatan untuk kembali mengembangkan sumur tersebut.
Dengan cara seperti itu, koporasi bisa mengawasi kegiatan pengeboran sumur minyak tua itu melalui kaidah pengeboran yang benar dengan teknologi yang terjamin sesuai dengan good minning practice. “Aturan yang tegas sangat diperlukan, tapi pembuatan aturan juga harus didasari atas pendekatan kultur, sosiologi masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut banyak pihak, keterlibatan Polri, TNI dan pemerintah menjadi sangat penting,” ungkap dia
Mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan (Kemenko Polhukam), kegiatan illegal drilling terus mengalami peningkatan per tahunnya, di tahun 2018 terdapat 137 kegiatan sumur ilegal dan terus meningkat pada 2019 menjadi 194. Praktik ilegal itu terus mengalami pertumbuhan sampai dengan 2020 dengan total kasus sebanyak 314 kegiatan. Adapun terdapat 8 provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sejatinya, pemerintah sudah memiliki Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Sumur Tua. Aturan itu bersinggungan dengan pengelolaan sumur migas oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Koperasi Unit Desa (KUD).
Sayangnya praktik pengeboran di sumur-sumur minyak tua itu tidak diikuti kepatuhan dan tanggungjawab. Terutama terkait standar keamanan kerja dan perlindungan terhadap lingkungan. Jika situasi ini terus berjalan dikhawatirkan akan menciptakan masalah sosial dan lingkungan di wilayah eks pengeboran minyak yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan, rata-rata sumur-sumur minyak tua yang ada saat ini sudah ditinggalkan oleh korporasi karena sudah tidak ekonomis. Selain cadangan yang menipis dan volume produksi yang terbatas, biaya pengelolaan sumur tua ditinggalkan itu sangat mahal.
“Sebenarnya sumur-sumur tua masih memiliki produksi, untuk menghindari adanya kegiatan-kegiatan masyarakat di sumur-sumur tua itu pemerintah harus membuat aturan yang kuat, agar potensi produksi migas di sumur tersebut bisa kembali ke negara,” kata Fahmy kepada sejumlah media di Jakarta, Senin (22/11/2021).
Menurut Fahmy, untuk menekan angka maraknya kegiatan masyarakat di sekitaran sumur-sumur minyak tua itu, pemerintah harus membuat aturan yang kuat khususnya berkenaan dengan penyerahan sumur-sumur minyak tua setelah ditinggalkan oleh korporasi. Atau, kata Fahmy, korporasi bisa menggandeng warga sekitar yang melakukan kegiatan untuk kembali mengembangkan sumur tersebut.
Dengan cara seperti itu, koporasi bisa mengawasi kegiatan pengeboran sumur minyak tua itu melalui kaidah pengeboran yang benar dengan teknologi yang terjamin sesuai dengan good minning practice. “Aturan yang tegas sangat diperlukan, tapi pembuatan aturan juga harus didasari atas pendekatan kultur, sosiologi masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut banyak pihak, keterlibatan Polri, TNI dan pemerintah menjadi sangat penting,” ungkap dia
Mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan (Kemenko Polhukam), kegiatan illegal drilling terus mengalami peningkatan per tahunnya, di tahun 2018 terdapat 137 kegiatan sumur ilegal dan terus meningkat pada 2019 menjadi 194. Praktik ilegal itu terus mengalami pertumbuhan sampai dengan 2020 dengan total kasus sebanyak 314 kegiatan. Adapun terdapat 8 provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sejatinya, pemerintah sudah memiliki Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Sumur Tua. Aturan itu bersinggungan dengan pengelolaan sumur migas oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Koperasi Unit Desa (KUD).
tulis komentar anda