Krakatau Steel Terancam Gulung Tikar Bulan Ini, Ada Apa?
Senin, 06 Desember 2021 - 14:33 WIB
Mantan bos Inter Milan ini memang memberi lampu hijau kepada Krakatau Steel untuk melanjutkan proyek peleburan tanur tinggi sebelumnya. Padahal, emiten pelat merah sendiri sudah menghentikan operasional blast furnace sejak 5 Desember 2019 lalu.
Alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya terbilang tinggi.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta atau setara Rp10 triliun. Angka ini membengkak Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk diambil jalan keluarnya.
Upaya lain adalah negosiasi ulang dengan produsen baja asal Korea Selatan, Pohang Steel and Iron Company (Posco) ihwal kerja sama dengan KRAS. Sebelumnya, Posco berencana berinvestasi USD3,7 miliar.
Investasi tersebut dibagi menjadi dua tahap, yakni USD700 juta untuk memproduksi turunan hot rolled coil (HRC). Sisanya, senilai USD3 miliar digunakan untuk menambah fasilitas produksi baja di industri hulu.
"Salah satunya negosiasi ulang, karena kan selama ini Krakatau Steel kerja sama dengan Posco, jadi Posco mayoritas kita minoritas. Kita coba untuk 50:50, belum ada jawaban dari Posco, belum ada jawaban masih tahap negosiasi," tukasnya.
Erick menambahkan, Kementerian BUMN juga tengah mendorong investasi dari Indonesia Investment Authority alias INA atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ke KRAS.
Alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya terbilang tinggi.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta atau setara Rp10 triliun. Angka ini membengkak Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk diambil jalan keluarnya.
Upaya lain adalah negosiasi ulang dengan produsen baja asal Korea Selatan, Pohang Steel and Iron Company (Posco) ihwal kerja sama dengan KRAS. Sebelumnya, Posco berencana berinvestasi USD3,7 miliar.
Investasi tersebut dibagi menjadi dua tahap, yakni USD700 juta untuk memproduksi turunan hot rolled coil (HRC). Sisanya, senilai USD3 miliar digunakan untuk menambah fasilitas produksi baja di industri hulu.
"Salah satunya negosiasi ulang, karena kan selama ini Krakatau Steel kerja sama dengan Posco, jadi Posco mayoritas kita minoritas. Kita coba untuk 50:50, belum ada jawaban dari Posco, belum ada jawaban masih tahap negosiasi," tukasnya.
Erick menambahkan, Kementerian BUMN juga tengah mendorong investasi dari Indonesia Investment Authority alias INA atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ke KRAS.
(ind)
tulis komentar anda