Bisnis Logistik Tak Lagi Sama Setelah Pandemi Berlalu
Kamis, 11 Juni 2020 - 12:14 WIB
JAKARTA - Dampak dari pandemi virus Covid 19 (corona) memang begitu dahsyat. Mahluk yang hanya berukuran micron ini telah meluluh lantakan kehidupan manusia. Wabah Corona yang muncul sejak Desember 2019 di Wuhan China hingga Juni ini telah menjangkiti lebih dari 7,1 juta penduduk di dunia dan membuat 400 ribu orang meninggal dunia.Di Indonesia data per 10 Juni 2020 sudah lebih dari 34 ribu orang positif Covid 19 dan mereka yang meninggal dunia akibat virus yang mematikan ini sudah hampir mencapai 2000 orang.
Pandemi Corona yang awalnya merupakan masalah di sektor kesehatan telah menyebar ke berbagai sektor kehidupan. Mulai dari transportasi, pendidikan, sosial, keamanan, keuangan hingga bisnis.
Wabah ini juga memukul bisnis logistik, khususnya yang menggunakan transportasi laut. Trisnawan Sanjaya, Wakil Ketum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Bidang Supply Chain & E-Commerce mengatakan, wabah Covid-19 berdampak besar terhadap lapis (tier) bisnis logistik paling hulu, seperti logistik di industri manufaktur.
Menurutnya hingga April lalu ship call (di Tanjung Priok) anjlok dari 150 kapal menjadi 50 kapal. Begitu juga dengan kargo di BandaraSoekarno-Hatta dari 50 pesawat turun menjadi hanya 35 pesawat saja. Begitu juga dengan Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat pendapatan perusahaan pelayaran nasional mengalami kemerosotan yang tajam sejak pandemi Covid-19. Baja juga: Berupaya Makin Eksis di Layanan Kargo, Garuda Luncurkan KirimAja.
Seperti dijelaskan Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, hingga April lalu pendapatan angkutan penumpang telah merosot 75% hingga 100%. Untuk angkutan kontainer kondisinya juga hampir sama, pedapatan merosot 10% sampai 25%. Lalu untuk angkutan jenis barang lainnya seperti, curah kering, liquid tanker, tug and barges, juga mengalami penurunan pendapatan 25% sampai 50%.
Kondisi perusahaan pelayaran saat ini makin memburuk, karena juga harus menghadapi merosotnya harga minyak dunia. Akibat dari anjloknya harga minyak dunia, membuat aktivitas perusahaan Migas baik di hulu hingga hilir berkurang. Mereka terpaksa harus melakukan efisiensi. Bahkan ada diantaranya yang harus stop operasi.
Apa yang terjadi di sektor Migas itu, membuat pelaku usaha pelayaran merasakan imbasnya. Perusahaan Migas mengurangi support dari perusahaan pelayaran. Seperti penurunan sewa atau renegosiasi kontrak 30% hingga 40 %.
Padahal di sisi lain, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan pelayaran tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah. Seperti untuk pembiayaan leasing dan spare part kapal yang menggunakan mata uang dolar AS.
Di saat pandemi seperti ini banyak juga pelanggan yang menunda pembayaran sewa. Cash flow perusahan pun ikut terganggu. Menurut Carmelita saat ini perusahaan pelayaran dalam situasi yang sulit. Mereka butuh stimulus yang tepat serta cepat dari pemerintah maupun stakeholder lainnya.
Pandemi Corona yang awalnya merupakan masalah di sektor kesehatan telah menyebar ke berbagai sektor kehidupan. Mulai dari transportasi, pendidikan, sosial, keamanan, keuangan hingga bisnis.
Wabah ini juga memukul bisnis logistik, khususnya yang menggunakan transportasi laut. Trisnawan Sanjaya, Wakil Ketum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Bidang Supply Chain & E-Commerce mengatakan, wabah Covid-19 berdampak besar terhadap lapis (tier) bisnis logistik paling hulu, seperti logistik di industri manufaktur.
Menurutnya hingga April lalu ship call (di Tanjung Priok) anjlok dari 150 kapal menjadi 50 kapal. Begitu juga dengan kargo di BandaraSoekarno-Hatta dari 50 pesawat turun menjadi hanya 35 pesawat saja. Begitu juga dengan Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat pendapatan perusahaan pelayaran nasional mengalami kemerosotan yang tajam sejak pandemi Covid-19. Baja juga: Berupaya Makin Eksis di Layanan Kargo, Garuda Luncurkan KirimAja.
Seperti dijelaskan Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP INSA Carmelita Hartoto, hingga April lalu pendapatan angkutan penumpang telah merosot 75% hingga 100%. Untuk angkutan kontainer kondisinya juga hampir sama, pedapatan merosot 10% sampai 25%. Lalu untuk angkutan jenis barang lainnya seperti, curah kering, liquid tanker, tug and barges, juga mengalami penurunan pendapatan 25% sampai 50%.
Kondisi perusahaan pelayaran saat ini makin memburuk, karena juga harus menghadapi merosotnya harga minyak dunia. Akibat dari anjloknya harga minyak dunia, membuat aktivitas perusahaan Migas baik di hulu hingga hilir berkurang. Mereka terpaksa harus melakukan efisiensi. Bahkan ada diantaranya yang harus stop operasi.
Apa yang terjadi di sektor Migas itu, membuat pelaku usaha pelayaran merasakan imbasnya. Perusahaan Migas mengurangi support dari perusahaan pelayaran. Seperti penurunan sewa atau renegosiasi kontrak 30% hingga 40 %.
Padahal di sisi lain, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan pelayaran tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah. Seperti untuk pembiayaan leasing dan spare part kapal yang menggunakan mata uang dolar AS.
Di saat pandemi seperti ini banyak juga pelanggan yang menunda pembayaran sewa. Cash flow perusahan pun ikut terganggu. Menurut Carmelita saat ini perusahaan pelayaran dalam situasi yang sulit. Mereka butuh stimulus yang tepat serta cepat dari pemerintah maupun stakeholder lainnya.
tulis komentar anda