Industri Sawit Tahan Banting di Tengah Pandemi Covid-19
Kamis, 11 Juni 2020 - 14:15 WIB
JAKARTA - Di tengah banyaknya industri yang terpuruk akibat dampak pandemi corona (Covid-19), ternyata masih ada sejumlah industri di Tanah Air yang tahan banting. Salah satunya adalah industri kelapa sawit . Selain produknya memang dibutuhkan masyarakat, program B-30 dianggap telah menyelamatkan industri Sawit ini.
Meski mengalami sejumlah kendala, industri sawit tetap bisa beroperasi cukup baik hingga saat ini. "Selama pandemi hingga sekarang ini, kegiatan produksi on-farm dan off-farm berjalan normal. Ada pengaruhnya iya, tapi tidak terlalu signifikan," kata ekonom Fadhil Hasan dalam zoom webinar bertema "Komoditas Sawit, Melangkah dengan Komitmen Berkelanjutan" pada Rabu (10/6) lalu.
Fadhil mengakui industri kelapa sawit memang mengalami pelambatan. Namun, fenomena tersebut bukan semata karena ada pandemi Covid-19. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab sehingga perkembangan industri sawit yang hingga kini belum berjalan baik. Pertama, kekeringan yang yang cukup lama pada tahun 2019 akibat fenomena el Nino berpengaruh pada rendahnya kualitas buat sawit. "Panen akhirnya kurang baik sehingga mengurangi produktivitas sawit," jelas Fadhil yang juga Direktur Corporate Affairs Asian Agri.
Faktor kedua, menurut Fadhil Hasan, adalah harga komoditas sawit yang masih rendah pada tahun 2019. Akibat rendahnya harga, para petani atau perusahaan melakukan berbagai efisiensi. Salah satunya dengan mengurangi pemupukan sekitar 30-40%. Langkah ini akhirnya berdampak pada produktifitas hasil panen sawit.
"Bagi perusahaan langkah efisiensi tersebut dilakukan dalam rangka menjaga cash flow agar tetap bisa beroperasi," jelasnya. Kegiatan produksi dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat, pergerakan tenaga kerja juga dibatasi.
Dua faktor di atas, lanjut Fadhil, membuat industri sawit mengalami pelambatan. Sejak pandemi covid-19, produksi sawit tidak terganggu. Alasannya, industri minyak sawit di Indonesia termasuk dalam kategori essential economic activities. Sehingga, meski dalam masa pandemi, masih terus dibutuhkan masyarakat. Fenomena ini berbeda dengan Malaysia yang industri sawitnya terdampak Covid-19.
(Baca Juga: Bantu Petani Sawit, Program B30 Dinilai Layak Dilanjutkan)
Selain produksi berjalan relatif normal, ekspor sawit ke sejumlah pasar tradisional juga berjalan cukup baik. Fadhil mengakui terjadi penurunan permintaan sawit di beberapa negara, yakni China, India dan Pakistan. Pengurangan permintaan dari China disebabkan karena negara itu menerapkan karantina wilayah sehingga sulit mendapatkan akses pelabuhan. Sedangkan India dan Pakistan lebih disebabkan karena harga minyak sawit tidak kompetitif. "India juga menerapkan aturan impor baru yang menghambat ekspor minyak sawit," jelasnya.
Fadhil Hasan mengungkapkan sangat mengapreasiasi pemerintah terkait dukungan dan komitmennya terhadap kebijakan B-30. Saat ini, ada masalah dengan program B30 yang agak terhambat. Karena harga minyak yang jatuh dan Covid-19 menyebabkan biaya untuk menutupi selisih harga diesel dan biodiesel meningkat tajam.
Meski mengalami sejumlah kendala, industri sawit tetap bisa beroperasi cukup baik hingga saat ini. "Selama pandemi hingga sekarang ini, kegiatan produksi on-farm dan off-farm berjalan normal. Ada pengaruhnya iya, tapi tidak terlalu signifikan," kata ekonom Fadhil Hasan dalam zoom webinar bertema "Komoditas Sawit, Melangkah dengan Komitmen Berkelanjutan" pada Rabu (10/6) lalu.
Fadhil mengakui industri kelapa sawit memang mengalami pelambatan. Namun, fenomena tersebut bukan semata karena ada pandemi Covid-19. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab sehingga perkembangan industri sawit yang hingga kini belum berjalan baik. Pertama, kekeringan yang yang cukup lama pada tahun 2019 akibat fenomena el Nino berpengaruh pada rendahnya kualitas buat sawit. "Panen akhirnya kurang baik sehingga mengurangi produktivitas sawit," jelas Fadhil yang juga Direktur Corporate Affairs Asian Agri.
Faktor kedua, menurut Fadhil Hasan, adalah harga komoditas sawit yang masih rendah pada tahun 2019. Akibat rendahnya harga, para petani atau perusahaan melakukan berbagai efisiensi. Salah satunya dengan mengurangi pemupukan sekitar 30-40%. Langkah ini akhirnya berdampak pada produktifitas hasil panen sawit.
"Bagi perusahaan langkah efisiensi tersebut dilakukan dalam rangka menjaga cash flow agar tetap bisa beroperasi," jelasnya. Kegiatan produksi dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat, pergerakan tenaga kerja juga dibatasi.
Dua faktor di atas, lanjut Fadhil, membuat industri sawit mengalami pelambatan. Sejak pandemi covid-19, produksi sawit tidak terganggu. Alasannya, industri minyak sawit di Indonesia termasuk dalam kategori essential economic activities. Sehingga, meski dalam masa pandemi, masih terus dibutuhkan masyarakat. Fenomena ini berbeda dengan Malaysia yang industri sawitnya terdampak Covid-19.
(Baca Juga: Bantu Petani Sawit, Program B30 Dinilai Layak Dilanjutkan)
Selain produksi berjalan relatif normal, ekspor sawit ke sejumlah pasar tradisional juga berjalan cukup baik. Fadhil mengakui terjadi penurunan permintaan sawit di beberapa negara, yakni China, India dan Pakistan. Pengurangan permintaan dari China disebabkan karena negara itu menerapkan karantina wilayah sehingga sulit mendapatkan akses pelabuhan. Sedangkan India dan Pakistan lebih disebabkan karena harga minyak sawit tidak kompetitif. "India juga menerapkan aturan impor baru yang menghambat ekspor minyak sawit," jelasnya.
Fadhil Hasan mengungkapkan sangat mengapreasiasi pemerintah terkait dukungan dan komitmennya terhadap kebijakan B-30. Saat ini, ada masalah dengan program B30 yang agak terhambat. Karena harga minyak yang jatuh dan Covid-19 menyebabkan biaya untuk menutupi selisih harga diesel dan biodiesel meningkat tajam.
Lihat Juga :
tulis komentar anda