Perusahaan Mulai Telat Bayar Bunga MTN, Pengamat: BI BisaTiru The Fed
Jum'at, 24 April 2020 - 12:45 WIB
JAKARTA - data Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) dan otoritas bursa, dalam beberapa pekan terakhir, terdapat sejumlah perusahaan yang dinyatakan terlambat membayar bunga obligasi berbentuk medium term note (MTN) sesuai tenggat waktu. Perusahaan itu antara lain PT Corpus Prima Mandiri, PT Eatwell Culinary Indonesia, PT Oligo Infrastruktur Indonesia, dan PT Corpus Asa Mandiri.
Situasi ini dinilai sangat wajar, mengingat akibat pandemi Covid-19, aktivitas ekonomi berkurang drastis, pusat-pusat perbelanjaan tutup, perkantoran sentra bisnis tak optimal, dan bisnis menjadi lesu. Hal itu membuat perekonomian nasional tertekan.
Beberapa dari perusahaan yang gagal membayar bunga obligasi MTN tersebut merupakan perusahaan bagian dari grup besar, seperti PT Eatwell Culinary Indonesia. Grup restoran tersebut memiliki ratusan outlet restoran di Indonesia seperti Ta Wan, dan antara lain dimiliki oleh Falcon House Partners, perusahaan private equity. Falcon House memiliki beberapa investasi di Indonesia lainnya termasuk kepemilikan saham di Grup Ismaya dan Potato Head.
Ekonom yang juga dosen Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan, permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan sekarang ini adalah likuiditas. Karena bisnis sepi, cashflow yang sedianya untuk memutar bisnis sekaligus membayar utang menjadi tersendat.
"Perusahaan mengalami cashflow yang defisit. Dan oleh karena itu mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka membayar cicilan utang," ujar Piter, kepada wartawan, Jumat (24/4/2020).
Di tengah perlambatan ekonomi dan bisnis, pemerintah memang sudah memberikan kelonggaran pajak kepada perusahaan yang bertujuan untuk mengurangi beban likuditas. Otoritas Jasa Keuangan pun sudah melonggarkan restrukturisasi kredit. Hal ini juga untuk mengurangi tekanan likuditas.
Namun, untuk perusahaan yang benar-benar kehilangan pendapatan, kata Piter, bisa jadi bantuan bantuan tersebut belum mencukupi karena mereka masih ada kewajiban cicilan utang yang diterbitkan di pasar modal.
Di Amerika Serikat (AS), menimbang besarnya tekanan likuiditas akibat Covid-19, Bank Sentral AS alias The Fed melakukan pembelian Surat utang langsung kepada korporasi. "Tujuannya mengurangi beban tekanan likuiditas atau dengan kata lain kebijakan memompa likuiditas," ujar Piter.
Opsi seperti yang dilakukan The Fed, menurut Piter perlu untuk dikaji dan dapat diterapkan mengingat kebutuhan utama para pelaku pasar dunia usaha, terutama di bursa, lebih pada ketersediaan likuiditas. Sementara jika relaksasi secara langsung, cenderung akan memberi persepsi negatif ke pasar. Itu menurutnya juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal, sekaligus mengganggu likuiditas pasar.
"Jadi bentuk bantuan yang paling tepat menurut saya dengan menambah likuiditas. Sebagaimana dilakukan oleh The Fed, melakukan pembelian surat utang yang dijual oleh perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas," tuturnya.
Kebijakan seperti itu, ditegaskan Piter, meski belum pernah dilakukan di Indonesia, namun sangat mungkin untuk diterapkan dan cara tersebut lebih tepat ketimbang melakukan relaksasi pasar modal. Dengan kombinasi kebijakan ekonomi yang tepat diharapkan perusahaan dapat bertahan di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19. Kendala likuditas pun bisa lebih tertangani dengan baik sehingga bisnis tetap berputar.
Situasi ini dinilai sangat wajar, mengingat akibat pandemi Covid-19, aktivitas ekonomi berkurang drastis, pusat-pusat perbelanjaan tutup, perkantoran sentra bisnis tak optimal, dan bisnis menjadi lesu. Hal itu membuat perekonomian nasional tertekan.
Beberapa dari perusahaan yang gagal membayar bunga obligasi MTN tersebut merupakan perusahaan bagian dari grup besar, seperti PT Eatwell Culinary Indonesia. Grup restoran tersebut memiliki ratusan outlet restoran di Indonesia seperti Ta Wan, dan antara lain dimiliki oleh Falcon House Partners, perusahaan private equity. Falcon House memiliki beberapa investasi di Indonesia lainnya termasuk kepemilikan saham di Grup Ismaya dan Potato Head.
Ekonom yang juga dosen Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan, permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan sekarang ini adalah likuiditas. Karena bisnis sepi, cashflow yang sedianya untuk memutar bisnis sekaligus membayar utang menjadi tersendat.
"Perusahaan mengalami cashflow yang defisit. Dan oleh karena itu mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka membayar cicilan utang," ujar Piter, kepada wartawan, Jumat (24/4/2020).
Di tengah perlambatan ekonomi dan bisnis, pemerintah memang sudah memberikan kelonggaran pajak kepada perusahaan yang bertujuan untuk mengurangi beban likuditas. Otoritas Jasa Keuangan pun sudah melonggarkan restrukturisasi kredit. Hal ini juga untuk mengurangi tekanan likuditas.
Namun, untuk perusahaan yang benar-benar kehilangan pendapatan, kata Piter, bisa jadi bantuan bantuan tersebut belum mencukupi karena mereka masih ada kewajiban cicilan utang yang diterbitkan di pasar modal.
Di Amerika Serikat (AS), menimbang besarnya tekanan likuiditas akibat Covid-19, Bank Sentral AS alias The Fed melakukan pembelian Surat utang langsung kepada korporasi. "Tujuannya mengurangi beban tekanan likuiditas atau dengan kata lain kebijakan memompa likuiditas," ujar Piter.
Opsi seperti yang dilakukan The Fed, menurut Piter perlu untuk dikaji dan dapat diterapkan mengingat kebutuhan utama para pelaku pasar dunia usaha, terutama di bursa, lebih pada ketersediaan likuiditas. Sementara jika relaksasi secara langsung, cenderung akan memberi persepsi negatif ke pasar. Itu menurutnya juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal, sekaligus mengganggu likuiditas pasar.
"Jadi bentuk bantuan yang paling tepat menurut saya dengan menambah likuiditas. Sebagaimana dilakukan oleh The Fed, melakukan pembelian surat utang yang dijual oleh perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas," tuturnya.
Kebijakan seperti itu, ditegaskan Piter, meski belum pernah dilakukan di Indonesia, namun sangat mungkin untuk diterapkan dan cara tersebut lebih tepat ketimbang melakukan relaksasi pasar modal. Dengan kombinasi kebijakan ekonomi yang tepat diharapkan perusahaan dapat bertahan di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19. Kendala likuditas pun bisa lebih tertangani dengan baik sehingga bisnis tetap berputar.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda