Daerah Belum Siap, HIPKI Usulkan Perpres No. 55 Direvisi
Kamis, 28 April 2022 - 15:20 WIB
JAKARTA - Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (Hipki) mengusulkan agar Perpres No. 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara direvisi. Usulan itu merespons keluhan sejumlah pengusaha di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang tidak mendapatkan kepastian layanan perizinan berusaha pasca-terbitnya beleid tersebut.
“Pemerintah tidak boleh membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Layanan perizinan berusaha tidak boleh stagnan. Investasi harus terus bergerak sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan sesuai harapan,” kata Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari di Jakarta, Kamis (28/4/2022).
Menurut Ady, sejak pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menolak melayani permohonan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
“Mereka menolak karena Perpres tadi sudah mengatur kewenangan pemberian WIUP sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi. Tapi, begitu kita ke daerah, ternyata daerah belum siap,” ujarnya.
Hipki, lanjut Ady, mengusulkan tiga opsi sebagai solusi untuk memecah kebuntuan yang terjadi dalam pelayanan perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan pasca terbitnya Perpres No. 55 Tahun 2022.
“Pertama, Dirjen Mineral dan Batubara menerbitkan edaran yang mengatur teknis pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha untuk dipedomani daerah. Kedua, revisi Perpres No. 55 dan memberi ruang adanya masa transisi. Ketiga, cabut perpres itu,” usulnya.
Ady menilai pendelegasian pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan dari pusat kepada pemerintah daerah provinsi terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan kesiapan perangkat daerah.
“Ini preseden buruk bagi dunia usaha dan investasi. Kita mengajukan izin ke pusat ditolak. Katanya ini kewenangan provinsi. Begitu kita ke provinsi, katanya mereka belum siap. Baik dari sisi penggunaan sistem, personel maupun anggarannya. Kacau kan?” ketus Ady.
Akibat tidak adanya kepastian hukum dalam pelayanan perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan ini, Ady mengaku khawatir akan memicu lahirnya penambangan tanpa izin atau ilegal di berbagai daerah.
“Saya khawatir penambangan ilegal akan muncul dimana-mana karena tidak ada kejelasan kemana dan kepada siapa masyarakat harus mengajukan izin. Yang pasti, pusat menolak dan daerah belum bisa menerima,” bebernya.
“Pemerintah tidak boleh membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Layanan perizinan berusaha tidak boleh stagnan. Investasi harus terus bergerak sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan sesuai harapan,” kata Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari di Jakarta, Kamis (28/4/2022).
Menurut Ady, sejak pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menolak melayani permohonan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
“Mereka menolak karena Perpres tadi sudah mengatur kewenangan pemberian WIUP sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi. Tapi, begitu kita ke daerah, ternyata daerah belum siap,” ujarnya.
Hipki, lanjut Ady, mengusulkan tiga opsi sebagai solusi untuk memecah kebuntuan yang terjadi dalam pelayanan perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan pasca terbitnya Perpres No. 55 Tahun 2022.
“Pertama, Dirjen Mineral dan Batubara menerbitkan edaran yang mengatur teknis pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha untuk dipedomani daerah. Kedua, revisi Perpres No. 55 dan memberi ruang adanya masa transisi. Ketiga, cabut perpres itu,” usulnya.
Ady menilai pendelegasian pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan dari pusat kepada pemerintah daerah provinsi terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan kesiapan perangkat daerah.
“Ini preseden buruk bagi dunia usaha dan investasi. Kita mengajukan izin ke pusat ditolak. Katanya ini kewenangan provinsi. Begitu kita ke provinsi, katanya mereka belum siap. Baik dari sisi penggunaan sistem, personel maupun anggarannya. Kacau kan?” ketus Ady.
Akibat tidak adanya kepastian hukum dalam pelayanan perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral bukan logam dan batuan ini, Ady mengaku khawatir akan memicu lahirnya penambangan tanpa izin atau ilegal di berbagai daerah.
Baca Juga
“Saya khawatir penambangan ilegal akan muncul dimana-mana karena tidak ada kejelasan kemana dan kepada siapa masyarakat harus mengajukan izin. Yang pasti, pusat menolak dan daerah belum bisa menerima,” bebernya.
(uka)
tulis komentar anda