Ancaman Perang Dingin AS-China Lebih Besar Ketimbang Virus
Senin, 22 Juni 2020 - 09:55 WIB
Pernyatan Sachs menyusul ketegangan antara AS dan China yang terus meningkat belakangan di beberapa bidang, bukan hanya perdagangan semata. Minggu lalu, misalnya, Presiden Trump menandatangani undang-undang yang mengesahkan sanksi AS terhadap pejabat China yang bertanggung jawab atas penindasan umat Islam di provinsi Xinjiang.
Dan dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, Presiden Trump mengatakan ia menyakini China mungkin telah mendorong penyebaran virus internasional sebagai cara untuk mengacaukan perekonomian global. Selanjutnya perusahaan-perusahaan China, khususnya raksasa telekomunikasi China, Huawei juga menjadi target AS dimana menurut menurut Washington digunakan untuk membantu Beijing memata-matai para pelanggannya. China menyangkal ini, seperti halnya Huawei
Tetapi sikap keras Presiden Trump terhadap China dan Huawei mungkin telah menjadi bagian dari taktik politik untuk membuat dirinya kembali terpilih- setidaknya menurut sebuah buku yang ditulis oleh mantan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton. Profesor Sachs setuju bahwa menargetkan Huawei tidak hanya sekadar masalah keamanan.
"AS kehilangan langkahnya pada 5G, yang merupakan bagian penting dari ekonomi digital baru. Dan Huawei mengambil bagian lebih besar dan lebih besar dari pasar global. AS mengarang dalam pendapat saya, bahwa Huawei adalah ancaman global. Itu sebabnya AS mencoba memutuskan hubungan dengan Huawei," katanya.
Sebelumnya hal serupa juga disampaikan Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin China dan penasihat Dewan Negara China, yang menilai hubungan China dan AS semakin memburuk. "Amerika Serikat dan China sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," katanya kepada South China Morning Post beberapa waktu lalu.
"Berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan China memiliki persaingan penuh dan decoupling yang cepat. Hubungan AS-China tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu," ungkap Shi Yinhong
Konflik Meluas
Amerika bukan satu-satunya negara yang terlibat konflik dengan China. Minggu ini, ketegangan mencuat di perbatasan India-China, dengan sedikitnya 20 tentara India tewas dalam aksi kekerasan terburuk yang dialami kedua pihak dalam hampir 50 tahun.
Sementara itu, China telah secara aktif mendanai proyek-proyek ekonomi di Pakistan, Myanmar, Sri Lanka dan Nepal - tetangga terdekat India - yang telah menimbulkan kekhawatiran di Delhi bahwa Beijing berusaha untuk memotong pengaruhnya di kawasan itu.
Sachs mengakui, kebangkitan China menjadi perhatian bagi negara-negara tetangganya di Asia. "Apakah saya percaya bahwa China bisa berbuat lebih banyak untuk meringankan ketakutan yang sangat nyata? Ya," ungkapnya.
Dan dalam sebuah wawancara dengan Wall Street Journal, Presiden Trump mengatakan ia menyakini China mungkin telah mendorong penyebaran virus internasional sebagai cara untuk mengacaukan perekonomian global. Selanjutnya perusahaan-perusahaan China, khususnya raksasa telekomunikasi China, Huawei juga menjadi target AS dimana menurut menurut Washington digunakan untuk membantu Beijing memata-matai para pelanggannya. China menyangkal ini, seperti halnya Huawei
Tetapi sikap keras Presiden Trump terhadap China dan Huawei mungkin telah menjadi bagian dari taktik politik untuk membuat dirinya kembali terpilih- setidaknya menurut sebuah buku yang ditulis oleh mantan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton. Profesor Sachs setuju bahwa menargetkan Huawei tidak hanya sekadar masalah keamanan.
"AS kehilangan langkahnya pada 5G, yang merupakan bagian penting dari ekonomi digital baru. Dan Huawei mengambil bagian lebih besar dan lebih besar dari pasar global. AS mengarang dalam pendapat saya, bahwa Huawei adalah ancaman global. Itu sebabnya AS mencoba memutuskan hubungan dengan Huawei," katanya.
Sebelumnya hal serupa juga disampaikan Shi Yinhong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin China dan penasihat Dewan Negara China, yang menilai hubungan China dan AS semakin memburuk. "Amerika Serikat dan China sebenarnya berada di era Perang Dingin yang baru," katanya kepada South China Morning Post beberapa waktu lalu.
"Berbeda dari Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, Perang Dingin baru antara AS dan China memiliki persaingan penuh dan decoupling yang cepat. Hubungan AS-China tidak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu, bahkan tidak sama dengan beberapa bulan yang lalu," ungkap Shi Yinhong
Konflik Meluas
Amerika bukan satu-satunya negara yang terlibat konflik dengan China. Minggu ini, ketegangan mencuat di perbatasan India-China, dengan sedikitnya 20 tentara India tewas dalam aksi kekerasan terburuk yang dialami kedua pihak dalam hampir 50 tahun.
Sementara itu, China telah secara aktif mendanai proyek-proyek ekonomi di Pakistan, Myanmar, Sri Lanka dan Nepal - tetangga terdekat India - yang telah menimbulkan kekhawatiran di Delhi bahwa Beijing berusaha untuk memotong pengaruhnya di kawasan itu.
Sachs mengakui, kebangkitan China menjadi perhatian bagi negara-negara tetangganya di Asia. "Apakah saya percaya bahwa China bisa berbuat lebih banyak untuk meringankan ketakutan yang sangat nyata? Ya," ungkapnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda