Peran Hulu Migas Tetap Penting di Tengah Laju Transisi Energi
Kamis, 16 Juni 2022 - 08:41 WIB
JAKARTA - Transisi energi yang tengah gencar dilakukan di Indonesia dipastikan tidak akan menggeser peran energi fosil baik minyak maupun gas bumi. Sampai puluhan tahun mendatang, peran migas diyakini masih sangat vital untuk memenuhi kebutuhan energi dan menggerakkan perekonomian nasional.
Sayangnya, lapangan–lapangan migas yang saat ini berproduksi umurnya sudah sangat tua sehingga mempengaruhi keekonomiannya. Untuk mendongkrak produksi, dibutuhkan investasi berupa lapangan migas baru. Untuk itu, pemerintah harus memberikan dukungan berupa insentif untuk memacu kegiatan usaha hulu migas.
Hal itu mengemuka dalam webinar yang digelar Reforminer Institute yang bertajuk "Kebijakan Insentif untuk Mendukung Peran Penting Industri Hulu Migas dalam Transisi Energi dan Perekonomian Indonesia", Rabu (15/6).
Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto mengungkapkan bahwa produksi migas harus terus didorong. "Meskipun ada anggapan migas sudah habis masanya, tapi pada kenyataannya migas berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, di tengah kondisi sekarang saat harga minyak tinggi, negara juga menikmati keuntungan tersebut," jelasnya.
Karena itu, kata Mulyanto, DPR mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengejar target lifting migas sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12.000 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Salah satunya, dengan menjadikan target tersebut dituangkan dalam regulasi yang jelas. "Target 1 juta bph itu harus dijadikan peraturan presiden (perpres) atau instruksi presiden (inpres). Kalau ada itu, ada dorongan kuat dari sisi keuangan," ujarnya.
Sementara, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha menuturkan, transisi energi dilakukan secara bertahap. Hal itu otomatis membuat hulu migas masih sangat diperlukan. "Jadi teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil tapi dengan teknologi bersih," tuturnya.
Dia menegaskan, DEN juga terus mendorong perbaikan iklim investasi migas agar investor betah berinvestasi di Indonesia dengan memonetisasi lapangan migas yang ada. DEN juga mewanti-wanti agar produksi migas jangan sampai turun karena berdasarkan skenario yang telah disusun pihaknya, gas menjadi tulang punggung dalam strategi transisi energi di Indonesia. "Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil alih," tandasnya.
Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus pun sepakat. Menurut dia, outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh. Dalam transisi energi menuju net zero emission, porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2060 diproyeksikan masih akan sekitar 34% persen.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyatakan, semua pihak sepakat bahwa industri hulu migas masih sangat penting. Karena itu, kata dia, tinggal lagi bagaimana mengelolanya secara bijaksana. "Indonesia harus belajar dari beberapa negara seperti Brasil, Australia, dan Kanada yang memberikan insentif kepada operator sehingga produksi migas di ketiga negara tersebut ikut meningkat. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut," tegasnya.
Kajian yang dilakukan Reforminer memperlihatkan bahwa dari 185 sektor industri di Indonesia, sekitar 145 sektor atau 70-80 %, memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas. "Index multiplier effect-nya mencapai 39. Jadi setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita," tandasnya.
Lihat Juga: 11 Perwakilan Kampus dari Sumatera hingga Papua Deklarasi Dukungan Program DEB SoBI di Yogyakarta
Sayangnya, lapangan–lapangan migas yang saat ini berproduksi umurnya sudah sangat tua sehingga mempengaruhi keekonomiannya. Untuk mendongkrak produksi, dibutuhkan investasi berupa lapangan migas baru. Untuk itu, pemerintah harus memberikan dukungan berupa insentif untuk memacu kegiatan usaha hulu migas.
Hal itu mengemuka dalam webinar yang digelar Reforminer Institute yang bertajuk "Kebijakan Insentif untuk Mendukung Peran Penting Industri Hulu Migas dalam Transisi Energi dan Perekonomian Indonesia", Rabu (15/6).
Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto mengungkapkan bahwa produksi migas harus terus didorong. "Meskipun ada anggapan migas sudah habis masanya, tapi pada kenyataannya migas berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, di tengah kondisi sekarang saat harga minyak tinggi, negara juga menikmati keuntungan tersebut," jelasnya.
Karena itu, kata Mulyanto, DPR mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengejar target lifting migas sebesar 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12.000 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Salah satunya, dengan menjadikan target tersebut dituangkan dalam regulasi yang jelas. "Target 1 juta bph itu harus dijadikan peraturan presiden (perpres) atau instruksi presiden (inpres). Kalau ada itu, ada dorongan kuat dari sisi keuangan," ujarnya.
Sementara, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha menuturkan, transisi energi dilakukan secara bertahap. Hal itu otomatis membuat hulu migas masih sangat diperlukan. "Jadi teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil tapi dengan teknologi bersih," tuturnya.
Dia menegaskan, DEN juga terus mendorong perbaikan iklim investasi migas agar investor betah berinvestasi di Indonesia dengan memonetisasi lapangan migas yang ada. DEN juga mewanti-wanti agar produksi migas jangan sampai turun karena berdasarkan skenario yang telah disusun pihaknya, gas menjadi tulang punggung dalam strategi transisi energi di Indonesia. "Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil alih," tandasnya.
Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus pun sepakat. Menurut dia, outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh. Dalam transisi energi menuju net zero emission, porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2060 diproyeksikan masih akan sekitar 34% persen.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyatakan, semua pihak sepakat bahwa industri hulu migas masih sangat penting. Karena itu, kata dia, tinggal lagi bagaimana mengelolanya secara bijaksana. "Indonesia harus belajar dari beberapa negara seperti Brasil, Australia, dan Kanada yang memberikan insentif kepada operator sehingga produksi migas di ketiga negara tersebut ikut meningkat. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut," tegasnya.
Kajian yang dilakukan Reforminer memperlihatkan bahwa dari 185 sektor industri di Indonesia, sekitar 145 sektor atau 70-80 %, memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas. "Index multiplier effect-nya mencapai 39. Jadi setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita," tandasnya.
Lihat Juga: 11 Perwakilan Kampus dari Sumatera hingga Papua Deklarasi Dukungan Program DEB SoBI di Yogyakarta
(fai)
tulis komentar anda