Efek Domino Kenaikan Suku Bunga The Fed buat Indonesia
Senin, 20 Juni 2022 - 13:19 WIB
JAKARTA - The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75% pada Kamis pekan lalu (16/6/2022). Ekonom sekaligus Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan bahwa ada beberapa dampak yang perlu diwaspadai dari kenaikan suku bunga The Fed.
"Pertama, keluarnya modal asing di pasar surat utang karena spread antara yield SBN dan yield treasury di tenor yang sama semakin menyempit. Investor asing cenderung mengalihkan dana ke negara maju, memicu capital outflow di emerging market," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin(20/6/2022).
Kedua, sambung dia, penyempitan likuiditas karena bank dalam posisi mengejar pertumbuhan kredit yang tinggi pasca-pandemi melandai tapi terhalang oleh kenaikan tingkat suku bunga.
"Perebutan dana antara pemerintah dan bank dalam menjaga tingkat pembiayaan defisit anggaran akan membuat dana deposan domestik berpindah ke SBN. Crowding out sangat membahayakan kondisi likuiditas di sektor keuangan," ungkapnya.
Ketiga, kenaikan suku bunga The Fed rentan diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan bunga pinjaman.
"Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya," tambah Bhima.
Keempat, imported inflation naik akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indeks dolar mengalami kenaikan 8,7% secara year-to-date menjadi ke level 104,6. Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur.
"Bank Indonesia sebaiknya segera menaikkan tingkat suku bunga minimum 25 bps untuk antisipasi pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara jaring pengaman dari sisi fiskal dalam bentuk peningkatan bantuan sosial, subsidi pangan, hingga stabilitas harga energi di dalam negeri menjadi sebuah kebutuhan," pungkas Bhima.
"Pertama, keluarnya modal asing di pasar surat utang karena spread antara yield SBN dan yield treasury di tenor yang sama semakin menyempit. Investor asing cenderung mengalihkan dana ke negara maju, memicu capital outflow di emerging market," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta, Senin(20/6/2022).
Kedua, sambung dia, penyempitan likuiditas karena bank dalam posisi mengejar pertumbuhan kredit yang tinggi pasca-pandemi melandai tapi terhalang oleh kenaikan tingkat suku bunga.
"Perebutan dana antara pemerintah dan bank dalam menjaga tingkat pembiayaan defisit anggaran akan membuat dana deposan domestik berpindah ke SBN. Crowding out sangat membahayakan kondisi likuiditas di sektor keuangan," ungkapnya.
Ketiga, kenaikan suku bunga The Fed rentan diikuti kenaikan tingkat suku bunga di negara berkembang. Tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan bunga pinjaman.
"Imbasnya proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansinya," tambah Bhima.
Keempat, imported inflation naik akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Situasi ini dipicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indeks dolar mengalami kenaikan 8,7% secara year-to-date menjadi ke level 104,6. Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur.
"Bank Indonesia sebaiknya segera menaikkan tingkat suku bunga minimum 25 bps untuk antisipasi pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara jaring pengaman dari sisi fiskal dalam bentuk peningkatan bantuan sosial, subsidi pangan, hingga stabilitas harga energi di dalam negeri menjadi sebuah kebutuhan," pungkas Bhima.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda