Tingkatkan Daya Saing Perikanan, Kemenko Marves dan FIHRRST Gelar ASEAF-SCF di Bali
Kamis, 23 Juni 2022 - 13:17 WIB
Forum kemudian dilanjutkan dengan dua sesi diskusi yang masing-masing dimoderasi oleh Bahtiar Manurung, Direktur Operasional FIHRRST, dan Assoc. Dinna Prapto Raharja, Penasihat Kebijakan Senior FIHRRST. Panel pertama mendiskusikan isu uji tuntas hak asasi manusia dalam mencegah pelanggaran HAM di industri perikanan. Lebih jauh lagi, panelis membahas tentang tren kenaikan permintaan dari konsumen terhadap produk perikanan yang berkelanjutan serta dari investor yang mulai memprioritaskan investasi ke perusahaan yang mempunyai indeks ESG atau lingkungan, sosial, dan tata kelola yang bagus. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah efektif yang dapat dilaksanakan oleh perusahaan perikanan untuk menjalankan uji tuntas hak asasi manusia.
Bahtiar Manurung selaku moderator pertama menjelaskan mengapa uji tuntas hak asasi manusia menjadi penting saat ini. "Dalam satu dekade terakhir, terdapat tren peningkatan permintaan terhadap produk perikanan yang berkelanjutan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Konsumen dari Inggris dan Denmark, misalnya, mau membayar lebih untuk produk perikanan yang tersertifikasi. Tak hanya dari konsumen, investor juga sudah mempertimangkan aspek lingkungan, sosial (termasuk hak asasi manusia), dan tata kelola (ESG) dalam berinvestasi," kata dia.
Anita Dorett, narasumber dari Investor Alliance for Human Rights, mengaffirmasi trend yang disampaikan oleh moderator. Dalam pidatonya, Anita menjelaskan, "Investor saat ini melihat aspek ESG sebuah perusahaan, kerangka internasional (international frameworks), benchamark data on human rights performance, dan trade bans dalam berinvestasi," kata dia.
Kevin Lehmann, Business and Human Rights Analyst UNDP Asia Pacific, mengatakan bahwa peraturan mandatory human rights due diligence seperti EU Proposed Directive on Corporate. Sustainability Due Diligence akan memiliki dampak pada industri perikanan di Asia Tenggara mengingat peraturan tersebut mengharuskan uji tuntas HAM oleh perusahaan Eropa harus mencakup rantai pasokan. Oleh karena itu, negara-negara Asia Tenggara harus mengantisipasi perkembangan peraturan ini.
Forum dilanjutkan dengan sesi kedua yang bertujuan untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan dalam kesepakatan kerja sama regional dalam menyelesaikan IUU fishing dan pelanggaran hak asasi manusia di industri perikanan. Selain itu, panelis juga membahas solusi untuk mengatasi tantangan dan kekurangan dalam kerja sama regional ASEAN.
Dinna memulai sesi dengan pengenalan narasumber kepada audiens. Selanjutnya, Dinna mempersilakan narasumber untuk memaparkan materi tentang usaha dan tantangan dalam implementasi kerja sama regional oleh negara-negara ASEAN. Matheus Eko Rudianto, Principal Fisheries Inspector dan Vice Executive Secretary, Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region (RPOA-IUU) Secretariat menjelaskan tantangan utama dalam implementasi RPOA-IUU meliputi kurangnya berbagi informasi dan kapasitas dalam mengatasi praktik perikanan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU fishing) serta pelanggaran hak asasi manusia.
Bahtiar Manurung selaku moderator pertama menjelaskan mengapa uji tuntas hak asasi manusia menjadi penting saat ini. "Dalam satu dekade terakhir, terdapat tren peningkatan permintaan terhadap produk perikanan yang berkelanjutan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Konsumen dari Inggris dan Denmark, misalnya, mau membayar lebih untuk produk perikanan yang tersertifikasi. Tak hanya dari konsumen, investor juga sudah mempertimangkan aspek lingkungan, sosial (termasuk hak asasi manusia), dan tata kelola (ESG) dalam berinvestasi," kata dia.
Anita Dorett, narasumber dari Investor Alliance for Human Rights, mengaffirmasi trend yang disampaikan oleh moderator. Dalam pidatonya, Anita menjelaskan, "Investor saat ini melihat aspek ESG sebuah perusahaan, kerangka internasional (international frameworks), benchamark data on human rights performance, dan trade bans dalam berinvestasi," kata dia.
Kevin Lehmann, Business and Human Rights Analyst UNDP Asia Pacific, mengatakan bahwa peraturan mandatory human rights due diligence seperti EU Proposed Directive on Corporate. Sustainability Due Diligence akan memiliki dampak pada industri perikanan di Asia Tenggara mengingat peraturan tersebut mengharuskan uji tuntas HAM oleh perusahaan Eropa harus mencakup rantai pasokan. Oleh karena itu, negara-negara Asia Tenggara harus mengantisipasi perkembangan peraturan ini.
Forum dilanjutkan dengan sesi kedua yang bertujuan untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan dalam kesepakatan kerja sama regional dalam menyelesaikan IUU fishing dan pelanggaran hak asasi manusia di industri perikanan. Selain itu, panelis juga membahas solusi untuk mengatasi tantangan dan kekurangan dalam kerja sama regional ASEAN.
Baca Juga
Dinna memulai sesi dengan pengenalan narasumber kepada audiens. Selanjutnya, Dinna mempersilakan narasumber untuk memaparkan materi tentang usaha dan tantangan dalam implementasi kerja sama regional oleh negara-negara ASEAN. Matheus Eko Rudianto, Principal Fisheries Inspector dan Vice Executive Secretary, Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region (RPOA-IUU) Secretariat menjelaskan tantangan utama dalam implementasi RPOA-IUU meliputi kurangnya berbagi informasi dan kapasitas dalam mengatasi praktik perikanan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU fishing) serta pelanggaran hak asasi manusia.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda