Soal Investasi Telkomsel di GoTo, Perusahaan Telko Dunia Sudah Lebih Dahulu!
Rabu, 13 Juli 2022 - 22:57 WIB
JAKARTA - Keputusan investasi PT Telkomsel di GoTo senilai USD450 juta dinilai merupakan aksi korporasi wajar dan strategis yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk memperkuat pertumbuhan bisnis. Keputusan investasi juga telah melewati berbagai tahapan dalam proses ketat yang melibatkan banyak pihak independen sebelum mendapatkan persetujuan.
Fendi Susiyanto, analis pasar modal sekaligus CEO Finvesol Consulting, meyakini bahwa proses investasi yang dilakukan oleh Telkomsel di GoTo sudah sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku di kedua perusahaan.
Di sisi Telkomsel, keberadaan Singtel sebagai pemegang saham, tidak akan memberikan lampu hijau jika investasi itu tidak dilakukan secara prudent, penuh kehati-hatian dan memberikan benefit yang optimal kepada perusahaan. Apalagi pemerintah Singapura sebagai pemilik Singtel selama ini dikenal tegas dan tidak berkompromi terhadap pelanggaran pelaksanaan good corporate governance (GCG).
Demikian halnya dengan GoTo. Fendi meyakini dengan banyaknya pemegang saham seperti Google, Visa, AIA, Astra International, Blue Bird dan nama-nama besar investor kelas dunia lainnya, tentu memiliki mekanisme yang ketat dan pasti dalam mengambil keputusan kerja sama investasi.
Menurut Fendi perusahaan sekelas Telkom dan Telkomsel tidak mungkin berinvestasi dalam jumlah yang besar hanya dengan motif untuk untuk mendapatkan capital gain dari naik turunnya harga saham ataupun dividen secara jangka pendek, pasti motifnya adalah menjadi strategic partner yang memiliki tujuan jangka panjang untuk mendukung bisnis inti Telkom Group.
“Sebagai ekosistem bisnis yang menaungi lebih dari 16 juta UMKM dan transaksi ratusan triliun per tahun, keberadaan GoTo sangat penting bagi ekonomi Indonesia. Peran BUMN justru akan terasa nyata jika mereka bisa berinvestasi riil dan berdampak ke seluruh pelosok Indonesia seperti di GoTo,” tegas Fendi.
Selama dua tahun masa pandemi, pendapatan perusahaan telekomunikasi secara global hanya naik tipis, yakni 3,5% pada tahun 2020 dan 2,8% pada 2021. Bahkan di beberapa negara seperti Amerika Latin, Jepang & Korea justru perusahaan-perusahaan telekomunikasinya sudah mengalami pertumbuhan negatif.
“Sebagai pelaku bisnis, mereka (Telkomsel) butuh pasar-pasar baru yang potensial untuk menjamin bisnisnya tetap survive dan tumbuh berkesinambungan,” ungkap Fendi.
Fendi Susiyanto, analis pasar modal sekaligus CEO Finvesol Consulting, meyakini bahwa proses investasi yang dilakukan oleh Telkomsel di GoTo sudah sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku di kedua perusahaan.
Di sisi Telkomsel, keberadaan Singtel sebagai pemegang saham, tidak akan memberikan lampu hijau jika investasi itu tidak dilakukan secara prudent, penuh kehati-hatian dan memberikan benefit yang optimal kepada perusahaan. Apalagi pemerintah Singapura sebagai pemilik Singtel selama ini dikenal tegas dan tidak berkompromi terhadap pelanggaran pelaksanaan good corporate governance (GCG).
Demikian halnya dengan GoTo. Fendi meyakini dengan banyaknya pemegang saham seperti Google, Visa, AIA, Astra International, Blue Bird dan nama-nama besar investor kelas dunia lainnya, tentu memiliki mekanisme yang ketat dan pasti dalam mengambil keputusan kerja sama investasi.
Menurut Fendi perusahaan sekelas Telkom dan Telkomsel tidak mungkin berinvestasi dalam jumlah yang besar hanya dengan motif untuk untuk mendapatkan capital gain dari naik turunnya harga saham ataupun dividen secara jangka pendek, pasti motifnya adalah menjadi strategic partner yang memiliki tujuan jangka panjang untuk mendukung bisnis inti Telkom Group.
“Sebagai ekosistem bisnis yang menaungi lebih dari 16 juta UMKM dan transaksi ratusan triliun per tahun, keberadaan GoTo sangat penting bagi ekonomi Indonesia. Peran BUMN justru akan terasa nyata jika mereka bisa berinvestasi riil dan berdampak ke seluruh pelosok Indonesia seperti di GoTo,” tegas Fendi.
Selama dua tahun masa pandemi, pendapatan perusahaan telekomunikasi secara global hanya naik tipis, yakni 3,5% pada tahun 2020 dan 2,8% pada 2021. Bahkan di beberapa negara seperti Amerika Latin, Jepang & Korea justru perusahaan-perusahaan telekomunikasinya sudah mengalami pertumbuhan negatif.
“Sebagai pelaku bisnis, mereka (Telkomsel) butuh pasar-pasar baru yang potensial untuk menjamin bisnisnya tetap survive dan tumbuh berkesinambungan,” ungkap Fendi.
tulis komentar anda