Gelar Aksi, Karyawan Perhutani Minta Menteri Siti Cabut SK KHDPK
Rabu, 20 Juli 2022 - 22:12 WIB
Kawasan hutan yang menjadi penyangga hidup jutaan biodiversitas mencapai 3 juta hektar, di mana 2,4 juta hektar diantaranya dikelola Perhutani untuk kepentingan publik.
"Selama ini, sesuai amanah UU, dalam mengelola hutan, Perhutani selalu melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra sejajar. Hal ini untuk kepentingan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat," ungkap dia.
Adapun lima poin yang disoroti DPP Sekar Perhutani yaitu, pertama, KHDPK dinilai tidak selaras dengan tata guna lahan yang mensyaratkan kecukupan luasan kawasan hutan pada suatu daerah sebesar 30%.
Kedua, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa UU No.11/2020 (UUCK), inkonstitusional bersyarat, harus diperbaiki dalam kurun waktu maksimal 2 tahun, dan menunda pemberlakuan UUCK beserta peraturan peraturan terkait.
Ketiga, adanya perubahan pola pengelolaan hutan dari yang semula terorganisasi secara profesional menjadi individual.
Keempat, sebagai kebijakan pengelolaan aset negara, tidak memenuhi prinsip-prinsip Good Forestry Governance (GFG), dan Good Risk Compliance (GRC) seperti azas Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, Independent, Fairness, kemanfaatan, analisis risikonya, kebencanaan, dan keberlanjutannya.
Kelima, melemahkan kelembagaan Perhutani sebagai institusi negara yang sah, berpengalaman, dan kompeten dalam pengelolaan hutan di Jawa bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan sebagai mitranya.
"Selama ini, sesuai amanah UU, dalam mengelola hutan, Perhutani selalu melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra sejajar. Hal ini untuk kepentingan pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat," ungkap dia.
Adapun lima poin yang disoroti DPP Sekar Perhutani yaitu, pertama, KHDPK dinilai tidak selaras dengan tata guna lahan yang mensyaratkan kecukupan luasan kawasan hutan pada suatu daerah sebesar 30%.
Kedua, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa UU No.11/2020 (UUCK), inkonstitusional bersyarat, harus diperbaiki dalam kurun waktu maksimal 2 tahun, dan menunda pemberlakuan UUCK beserta peraturan peraturan terkait.
Ketiga, adanya perubahan pola pengelolaan hutan dari yang semula terorganisasi secara profesional menjadi individual.
Keempat, sebagai kebijakan pengelolaan aset negara, tidak memenuhi prinsip-prinsip Good Forestry Governance (GFG), dan Good Risk Compliance (GRC) seperti azas Transparansi, Akuntabilitas, Responsibility, Independent, Fairness, kemanfaatan, analisis risikonya, kebencanaan, dan keberlanjutannya.
Kelima, melemahkan kelembagaan Perhutani sebagai institusi negara yang sah, berpengalaman, dan kompeten dalam pengelolaan hutan di Jawa bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan sebagai mitranya.
(ind)
tulis komentar anda